GERAKAN PEMBAHARUAN DALAM ISLAM DI INDONESIA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pada pergantian abad XIX ini banyak orang Islam
Indonesia mulai menyadari bahwa mereka tidak akan mampu berkompetisi dengan
kekuatan-kekuatan yang menantang dari pihak kolonialisme Belanda, penetrasi
Barat dan perjuangan pelbagai wilayah-wilayah lain di Asia dan belahan dunia
lainnya. Kaum muslim mulai menyimak berbagai perubahan dan menggali
mutiara-mutiara Islam di masa lalu yang telah memberi kesanggupan kepada
kawan-kawan mereka seagama di Abad Pertengahan “ikut andil” dalam membangun
peradaban dunia, berdasarkan akidah Tauhid yang memiliki keutamaan, ketinggian
dan kesempurnaan akhlak. Bukan menjadikan roket-roket antarbenua, nuklir, dan
senjata biologis sebagai sarana mengancam umat dan bangsa-bangsa lain[1],
seperti; Amerika Serikat, Israel, Rusia, dan Republik Rakyat Cina.
S.H.Nasr juga memandang pengaruh Barat (Kolonial) tersebut sebagai
sesuatu yang serius dan melumpuhkan Islam. Dikatakan bahwa perkembangan
modernisme di dunia Islam, kecuali menaburkan benih kebingungan kepada akal
pikiran sehingga menggoyahkan keislaman seseorang dan juga membuat dunia Islam
terpisah-pisah satu sama lain.[2]
Melepaskan diri dari pengaruh Barat tersebut merupakan kesulitan
tersendiri bagi bangsa-bangsa yang berpenduduk muslim, karena demikian rapihnya
jaringan–jaringan yang diciptakan oleh
tata kehidupan masyarakat modern saat itu. Dengan kata lain, modernisasi telah
memborbardir seluruh tatanan kehidupan manusia. Pengaruhnya merambah hingga ke
Negeri kita tercinta, Indonesia.
Oleh karena itu, makalah ini akan membahas timbulnya gerakan pembaharuan
dalam islam di Indonesia yang ditandai dengan berdirinya Jami’ah Khaeir,
Muhammadiyah, Persis dan lain-lain sampai dengan masa kemerdekaan.
B. Rumusan
Masalah
Dari uraian latar belakang
diatas dapat disimpulkan dalam rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah kebijakan pemerintah
Belanda mengenai Islam?
2.
Bagaimanakah kebangkitan Islam di
Indonesia?
3.
Apa sajakah Organisasi yang
berdiri pada masa timbulnya gerakan pembaharuan dalam Islam di Indonesia?
C. Tujuan Masalah
Adpun
tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Mengetahui kebijakan pemerintah
Belanda mengenai Islam.
2.
Mengetahui kebangkitan Islam di
Indonesia.
3.
Mengetahui organisasi yang berdiri
pada masa timbulnya gerakan pembaharuan dalam Islam di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Kebijakan Pemerintah
Belanda
Untuk melihat kebijakan pemerintah Belanda mengenai Islam, atau perumusan
kembali posisi pemerintah kolonial, mengenai Islam di Indonesia adalah dengan memaparkan
karya-karya dan gagasan-gagasan Snouck Hurgronje (S.H.). Dalam mengembangkan
garis-garis besar kebijakan yang baru ini, pengaruh S.H. sangat besar.
Kebijakan S.H. mengenai Islam dan kaum muslimin di Indonesia didasarkan atas
pengalamannya, terutama kunjungannya yang terkenal di Makkah. Ia menetap selama
tujuh bulan di sana (Februari-Agustus 1885), dengan menyamar sebagai seorang
muslim yang bernama ‘Abd al-Ghaffar.
Di Makkah S.H. bergabung dengan masyarakat Indonesia dan mempelajari
banyak hal yang mengenai lembaga dan kegiatan keagamaan mereka.
S.H.berkesimpulan bahwa sebagian besar kaum muslimin yang datang ke Makkah
untuk menunaikan ibadah Haji bukanlah kaum muslim yang fanatik, yang ingin
memajukan Islam, dengan segala cara.
Banyak di antara mereka yang kembali (ke Indonesia) dalam keadaan yang
sama bodohnya dengan ketika mereka
berangkat (ke Makkah). Pemerintah kolonial Belanda, menurut S.H., tidak
perlu terlalu mengkhawatirkan sebagian besar kyai (guru agama) lokal. Yang
perlu diperhatikan, dibandingkan dengan mereka, adalah orang-orang Indonesia
yang pergi ke Makkah untuk belajar dan menetap bertahun-tahun di sana dan
akhirnya menumbuhkan dalam diri mereka
rasa kesatuan dan persatuan
dengan seluruh kaum muslim berdasarkan identitas keislaman yang sama-sama
mereka hayati. Untuk alasan itu, S.H. berpendapat, adalah keputusan yang bijak
mengizinkan sebagian besar kaum muslim Indonesia melaksanakan ajaran agama
mereka tanpa campur tangan pemerintah. Meskipun demikan, mereka yang
mendakwahkan “perang suci” menentang
“pemerintah kafir “ harus dipandang dan ditanggapi dengan keras.
S.H. mendukung pemisahan antara politik dan agama, namun nasehat
politiknya mengarah kepada semakin
meningkatnya keterlibatan pemerintah kolonial dalam urusan sehari-hari “agama
Islam”. Keterlibatan ini telah berkembang sedemikian rupa sehingga Kantor
Urusan Pribumi, yang diusulkan dan didirikannya sendiri, secara tepat dapat
dipandang sebagai pendahuluan dan pelopor berdirinya Departemen Agama Republik
Indonesia.[3]
Dalam beberapa kuliah yang disampaikan kepada Dutch East Indian
Academiy for Administrative Studies 1911, NASR mengajukan suatu permintaan
kuat agar dibentuk “asosiasi” dan
melalui asiosiasi NASR maksudkan akan lahir Negara Belanda, yang terdiri dari
dua wilayah geografis yang terpisah
jauh, tetapi secara spiritual saling berhubungan. Yang satu berada di Eropa
Barat Laut dan yang lain di Asia Tenggara. Menurut S. H., sistem Islam telah
menjadi sangat kaku dan tidak mampu lagi menyesuaikan diri dengan abad baru.
Hanya melalui organisasi pendidikan berskala luas atas dasar yang universal dan
netral secara agamis, pemerintah kolonial dapat “membebaskan” atau melepaskan
muslimin dari agama mereka[4]:
“Pengasuh
dan pendidikan adalah cara untuk mencapai tujuan tersebut.Bahkan di Negeri-negeri
berbudaya Islam yang jauh lebih tua dibanding kepulauan Nusantara kita
menyaksikan mereka bekerja dengan efektif untuk membebaskan umat Muhammad dari
kebiasaan lama yang telah lama membelenggunya[5]
.
Bahkan dalam
kitabnya, Nederland en de Islam” sebagai berikut :
“Teori
eksploitasi telah tammat masanya, yang tidak kita kehendaki kembali lagi, kita
tidak hendak mengembalikannya dari kuburnya, juga tidak dalam bentuk baru. Meskipun
pemerintah kolonial ditujukan hendak memberikan untung kepada negeri Belanda,
ahli Negara yang melihat jauh akan berpendapat, bahwa keuntungan itu terletak
dalam suatu masa depan, di mana anak negeri daerah kolonial itu ditempatkan
pada tempat yang tinggi, sehingga ia dapat memperkembangkan pembawaannya. Jika
pengangkatan anak negeri, yang dicarinya sendiri, sudah didapatnya dengan
pimpinan kita yang keras, barulah kita mempunyai harapan, bahwa negeri Belanda
akan memperoleh apa yang dicarinya... Gambaran yang diberikan dunia terakhir
ini belum memperlihatkan, apakah melalui Ethice Politiek atau melalui
Exploitatie Politiek, Indonesia akan terlepas dari tangan Belanda. Apabila
orang bertanya, melalui saluran manakah
daripada dua faham ini daerah jajahan dalam masa seratus tahun ini akan
hilang, maka saya akan berkata, tidak ada suatu sebab yang akan lebih pasti
melenyapkan daerah ini selain daripada cara pemerintahan kolonial itu yang
tamak, seperti yang pernah ditempuh oleh Kompeni Hindia Timur dan Stelsel Tanam
Paksa, yang pernah dijatuhkan hukuman oleh pengadilan masa dan sejarah di waktu
yang lampau”[6]
Dengan garis politik itu, maka pemerintah kolonial selalu memberikan
jalan kepada siapa saja yang dapat berjalan kearah pendekatan dengan politik
kolonial. Namun pada sisi lain
pemerintah kolonial mencoba membendung arus kebangkitan dan respon umat
Islam.
Di mana mereka dibantu bacaan-bacaan dan hubungan dengan luar negeri.
Dalam pergerakan nasional, mereka selalu bahu membahu bekerjasama dengan
pemimpin-pemimpin kebangsaan, bahkan selalu mendampingi atau terlibat langsung
dalam masalah-masalah politik untuk meraih kemerdekaan tanah airnya.
B. Kebangkitan
Islam Indonesia
Di dalam makalah-makalah diskusi sebelumnya sudah dijelaskan tentang
Gerakan kebangkitan Islam; Ibn Taimiyah (1263-1328), Ibn Qayyim al-Jauziah
(1292-1350), Muhammad ibn Abdul Wahab (1703-787), Jamaluddin al-Afgani
(1838-1897), Sayyid Amir Ali (1849-1928), M.Abduh (1849-1905), Rasyid Ridha
(1856-1935), dll. Termasuk di dalamnya gerakan salaf yang telah masuk ke
Indonesia sekitar tahun 1802, bersamaan dengan pulangnya Haji Miskin dan
teman-temannya dari menunaikan ibadah haji dan sementara bermukim, pulang ke
Minangkabau; mereka itulah yang terkenal denga julukan “Harimau nan Salapan”
Mereka sering dinamakan kaum Padri.
Kaum Padri berpakaian serba putih, mereka mengadakan perombakan
masyarakat secara radikal dan banyak hal menggunakan kekerasan, sehingga
terjadi peperangan antara mereka dengan pemerintah kolonial Belanda, yang
menggunakan kesempatan itu--- dengan dalih membantu kaum adat penduduk
asli---untuk melebarkan sayap penjajahannya.
Setelah Sumatra Barat diduduki Belanda, ajaran kaum salaf yang dibawa
kaum Padri, diteruskan oleh ulama-ulama, yang ketika itu dinamakan Kaum Muda,
terutama dipelopori oleh Syech Muhammad Abdullah Ahmad (1878-1933), Syech Haji
Abdul Karim Amrullah (1879-1945), Syech Muhammad Jamil Jambek (1860-1947),
Syech Ibrahim Musa Parabek (1884-19630, Syech Muhammad Thaib Umar (1874-1920),
dengan pengirimkan guru-guru ke seluruh Sumatra dan menerbitkan majalah
al-Munir (1918), Haji Miskin dkk. telah memberikan tekanan udara baru bagi
pergerakan Reform umat Islam Indonesia untuk menggali api ajaran Islam yang
telah banyak terpengaruh oleh churafat,
bid’ah akibat pengaruh agama Hinduisme dan Budhaisme. Haji Miskin dkk., yang
terkenal dengan Harimau nan Selapan, yakni; Tuanku di Kubu Sang, Tuanku di Koto
Ambalau, Tunaku di Ladang Lawas, Tuanku di Padanag Luar, Tuanku diu Galung,
Tuanku di Lubur Alur, Tuanku Nan Rentjeh dan Tuanku Haji Miskin sendiri.
Di bawah pimpinan Malim Basa didirikan
Perguruan di Bonjol, yang kemudian menjadi pusat pendidikan Mazhab
Hanbali, di mana tokoh ini lebih dikenal dengan julukan tuanku Imam Bonjol. Namun,
tantangan hebat dari ulama-ulama adat, yang kemudian wilayah kekuasaan di bawah
pegaruh kolonial Belanda. Perang Padri berlangsung lebih lima belas tahun
(1822-1837).
Meskipun dalam peperangan ini kaum Padri kalah akibat campur tangan
asing, dan daerah pengaruhnya lenyap digantikan dengan pendidikan menurut
madzhab Syafi’I, namun ajaran salaf itu secara diam-diam terus berkembang,
terutama dalam bentuk-bentuk pengajian dan terjemahan, kemudian menemukan
kepribadiannya kembali, setelah kaum muda tampil ke depan memimpin revolusi berfikir, umat Islam, dalam
“Sumatra Thawalib”. Dari surau-surau yang berserakan lahirlah ulama-ulama
besar, seperti Syech Abdul Chatib, Syech Muhammad Jamin Batusangkar, Tuanku
Kolok, Abdul Manan dan masih banyak lagi dan gerakan ini menjalar ke Jambi,
Palembang, Sumatra Timur, Tapanuli, Bengkulu, Lampung, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, Nusan Tengara, Maluku dan di mana sinar Islam telah padam. Akan
tetapi bara api masih ada dan
digerakkan Kaum Muda, yang kemudian Pemerintah Kolonial Belanda dengan
teliti mengikuti gerakan ini dan kemudian membentuk Komisi Pemerintah yang
diketuai oleh Prof. Mr.J. Nasrreike, dibantu Datuk Tumenggung, yang dalam
konklusinya menjelaskan bahwa pemberontakan yang timbul karena gerakan kaum
muda dibiarkan tumbuh dengan subur di Sumatra Barat, karena itulah pemerintah
segera mengambil tindakan pengamanan dengan mengawasi semua kegiatan agama,
yang berupa dakwah dan sekolah-sekolah.[7]
Di samping itu kolonialisme Belanda dengan segala usaha yang diperkirakan
akan membawa hasil, bekerja keras untuk membendung arus pembaharuan—namun disi
lain---- suatu tindakan yang tidak akan dilupakan rakyat terjajah akan
kebobrokan politik penjajah, adalah mempergunakan kesucian agama demi
kepentingan busuk kolonialismenya. Misalnya yang dilakukan Gubernur Jendral
Indenburg dengan politik “pengkeristenan” nya terhadap penduduk Nusantara,
sedikit demi sedikit secara teratur dan terencana
Bahkan pemerintah kolonial Belanda mendesak penguasa kraton
Yogyakarta dan Surakarta untuk mencabut
larangan penginjilan terhadap masyarakat Jawa. Sejak saat itu, Jawa, wilayah
konsentrasi kebanyakan kaum muslim, terbuka bagi kegiatan misionaris Kristen.
Penetrasi Kristen lebih mendalam lagi terjadi mulai tahun 1850-an ke wilayah
Jawa Tengah yang nanti menjadi dorongan kuat bagi lahirnya pendalam “kesadaran”
kaum muslim untuk melawan kegiatan-kegiatan missi ini.[8]
C. Jami’at
Khair
Perkumpulan al-Jami’at Khairiyah (JK) di Jawa dapat dikatakan sebagai
penggerakan Islam Baru yang pertama kali di pulau yang padat penduduknya
itu.Ini terjadi pada tahun 1905. dari tempat itu pula KH.A.Dahlan (1912), pemimpin pertama
perkumpulan Muhammadiyah dan orang-orang
yang terpelajar lainnya mengenal bacaan-bacaan kaum reform yang didatangkan
dari luar negeri .[9]
Organisasi JK ini terbuka untuk setiap muslim tanpa diskriminasi asal, usul,
tetapi mayoritas anggota-anggotanya orang Arab[10]
Para pendiri; Sayyid Muhammad al-Fachir ibn Muhammad al-Masjhur, Sayid Muhammad
ibn Abdullah ibn Nasrihab, Sayid Idris ibn Ahmad ibn Nasrihab dan Sayid Syech
Syehan ibn Nasrihab [11]
dan pemimpin-pemimpin organisasi ini umumnya terdiri dari orang-orang yang
berada, yang memungkinkan penggunaan sebagian waktu mereka kepada organisasi
tanpa merugikan usaha pencaharian nafkah
Dua bidang kegiatan yang sangat diperhatikan diperhatikan oleh JK ini. Pertama, pendidikan dan pembinaan satu sekolah pada
tingkat dasar. Kedua, pengiriman anak-anak ke Turki untuk melanjutkan
pelajaran. Bidang kedua ini segera terhambat oleh kekurangan biaya dan juga
oleh karena kemunduran khilafat. Oleh Deliar Noer tidak seorang pun dari mereka
yang dikirim oleh organisasi ini ke Timur Tengah memainkan peranan yang penting
setelah mereka kembali ke Indonesia.
JK mengundang guru-guru dari daerah-daerah lain dan juga dari luar
negeri, untuk mengajar di sekolah tersebut. Sekurang-kurangnya dalam tahun 1907
seorang guru dari Padang, Haji Muhammad Mansur di sekolah tersebut; ia dipilih
menjadi guru di sekolah itu karena
kemampuannya di dalam bahasa Melayu dan pengetahuan di bidang agama. Guru-guru
dari luar negeri termasuk seorang yang bernama al-Hasyimi, berasal dari Tunisia
(Afrika Utara) dan pernah memberontak kepada Perancis. Pada bulan Oktober 1911
tiga guru dari negeri-negeri Arab bergabung ke JK, mereka adalah Syaikh Ahmad
Soorkatti dari Sudan, Syaikh Muhamad
Thaib dari Marokko dan Syaikh Muhammad Abdul Hamid dari Makkah.
Soorkatti yang memainkan peranan yang sangat penting dalam menyebarkan
pemikiran-pemikiran baru dalam lingkungan masyarakat Islam di Indonesia. Thaib
tidak lama tinggal di Indonesia. Ia kembali ke negerinya pada tahun 1913, Hamid
segera pindah Ke Bogor pada sebuah sekolah dengan nama Jami’at Khair juga,
meskipun bukanlah cabang dari Jakarta.
Gelombang ketiga dari guru-guru yang datang dari luar negeri terjadi pada
bulan Oktober 1913. Mereka adalah sahabat-sahabat Soorkatti dan seorang
diantaranya adalah saudaranya Mereka adalah Muhammad Noor (Abu Anwar)
al-Anshari, Muhammad Abul Fadli al-AnNasrari (Saudara Soorkatti) dan Hasan
Hamid al-AnNasrari, dan yang keempat, Ahmad al-Awif diperuntukkan bagi JK yang didirikan di Surabaya.
Pentingnya JK.terletak pada kenyataan bahwa organisasi ini memulai dengan
bentuk modern (dengan anggaran dasar,
daftar anggota, rapat-rapat berkala) dan yang mendirikan suatu sekolah dengan
cara-cara yang banyak sedikitnya telah modern (kurikulum, kelas-kelas,
pemakaian bangku, papan tulis, dsb). Ide-ide ini berkumandang di kota-kota
lain.Namun golongan Sayid menikmati penghormatan dari kalangan bukan Sayid
termasuk dari orang-orang Indonesia.
Dengan kemajuan yang dicapai oleh golongan bukan Sayid dalam hidup,
apalagi di Indonesia di mana mereka berhasil mencapai sukses material dan
kepandaian, mereka mulai menanyakan persoalan kedudukan yang tinggi yang
ditempati oleh sayid-sayid itu. Batas kedudukan antara kedua golongan itu
menjadi kabur pula, oleh karena pemerintah Belanda mengangkat seorang bukan
Sayid sebagai kepala dari masyarakat setempat (Kapten Arab), dengan siapa
pemerintah berhubungan tentang masalah yang menyangkut masyarakat Arab itu. Kepala Masyarakat Arab
setempat itu dengan sendirinya membawakan orang-orang yang termasuk golongan
Sayid juga.
Lambat laun golongan bukan Sayid merasa bahwa mereka pun sederajat dengan
golongan Sayid. Tentang sikap ini mereka mendapatkan dukungan dari sebuah fatwa
yang dikeluarkan oleh Rasyid Ridha dari majalah al-Manar, Kairo yang
mengemukakan bahwa perkawinan antara seorang Islam bukan Sayid dengan Sayid
adalah Jaiz. Fatwa yang sama dikemukan oleh Ahmad Soorkatti di Solo
tahun 1913, ketika ia dalam suatu pertemuan menekankan bahwa Islam memperjuangkan persamaan sesama Muslim dan
tidak mengakui kedudukan yang mendiskriminasikan berbagai kalangan; yang
disebabkan oleh darah, keturunan,harta maupun pangkat. Meskipun persoalan ini
sangat pribadi, namun kadangkala secara diam-diam mencair.[12]
Kekakuan pendapat pada golongan sayid menyebabkan perpecahan di JK. Di
samping itu golongan bukan Sayid menyadari tentang kedudukan dan kekuatan
mereka, apalagi di kalangan mereka telah muncul orang-orang yang juga dihormati
oleh orang-orang Arab umumnya atau pun
oleh orang-orang bukan Arab. Seperti, Syech Umar Manggus, kapten Arab di
Jakarta dan Syech Ahmad Soorkatti yang dianggap merupakan gudang ilmu.
Akhirnya golongan bukan Sayid mendirikan sebuah organisasi yang bernama
Jami’iyat al-Islam wal Ersyad al-Arabia
dsingkat Al-Irsyad (1913) dan organisasi ini mendapat pengakuan legal dari
pemerintah Hindia Belanda pada tangga; 11 Agustus 1915.
D. Al-Irsyad
Para pendiri al-Irsyad kebanyakan adalah para pedagang, namun guru yang
dilihat sebagai tempat meminta fatwa ialah Ahmad Sorkatti (AS) yang sebagian
besar umurnya dicurahkan untuk penelaahan pengetahuan.
Dalam operasisonalnya, Al-Irsyad sendiri memfokuskan perhatiannya pada
bidang pendidikan, terutama pada masyarakat Arab atau pun pada permasalahan
yang timbul di kalangan masyarakat Arab. Meskipun orang-orang Indonesia Islam
bukan Arab, menjadi anggota al-Irsyad. Dengan bekerjsama denga Muhammadiyah dan
Persatuan Islam (Persis), organisasi al-Irsyad
meluaskan pusat perhatian mereka pada persoalan-persoalan yang lebih
luas, yang mencakup persoalan Islam umunya di Indonesia, Ia juga turut serta
dalam berbagai kongres al-Islam pada tahun 1920-an dan bergabung dalam pada
Majlis Islam A’la Indonesia ketika federasi ini didirikan pada tahun 1937.
Al-Irsyad memperlihatkan vitalitas dan energi yang lebih besar dari JK
dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya. Hal ini bisa dilihat dengan berdirinya
cabang-cabang al-Irsyad di Cirebon, Bumiayu, Tegal, Pekalongan, Surakarta,
Surabaya, dst. Dengan berbagai lembaga pendidikan, tabligh dan
pertemuan-pertemuan sebagai cara untuk menyebarkan fahamnya. Ia juga
menerbitkan beberapa buah buku dan pamplet-pamflet dan Ahmad Soorkatti sebagai
tokoh al-Irsyad ini dijadikan judul penelitian disertasi [13]
Pertikaian kedua organisasi ini pernah Sayid Ismail al-Attas berusaha
menyelesaikan pertikaian tentang Sayid ini dan untuk mempersatukan kedua
organisasi ini tidak berhasil dengan memuaskan
E.
Muhammadiyah
Meskipun selama berabad-abad berbagai kegiatan anti-Belanda sudah
mencirikan kehidupan rakyat Indonesia gerakan-gerakan sosial–keagamaan yang
terorganisasikan dengan baik baru benar-benar tumbuh pada dekade pertama abad
ke-20. Nah, Salah satu organisasi pembaharu[14]
dan sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum Perang Dunia II dan
mungkin juga sampai saat ini adalah Muhammadiyah. Muhammadiyah menurut Jame
L.Peacock Muhammadiyah membuktikan dirinya sebagai organisasi pembaharu Islam
yang paling kuat di Asia Tenggara[15].
Sebagai sebuah organisasi pembaharu keagamaan, Muhammadiyah berpandangan
bahwa kunci kemajuan dan kemakmuran kaum muslim, adalah perbaikan pendidikan.
Karena itu wajar bila Muhammadiyah memiliki; Puluhan Rumah Sakit, Ratusan Balai
Pengobatan, Ratusan Panti Asuhan,
Puluhan Ribu Sekolah dari SD, SLP, SLA, bahkan sampai th.1995 memiliki 110 PTM.[16]
Organisasi ini didirikan di
Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912
oleh K.H.A.Dahlan atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa
orang anggota Budi Utomo, untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan Islam
yang bersifat permanen.
Organisasi ini mempunyai maksud “menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi
Muhammad S.A.W. kepada penduduk “Bumi Putera” dan “memajukan hal agama Islam
kepada para anggotanya”. Untuk merealisir maksud tersebut, Muhammadiyah
mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh di
mana dibicarakan masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf, masjid dan
menerbitkan buku dan majalah.[17]
Pada tahun 1927 Muhammadiyah mendirikan cabang-cabang di Bengkulu,
Banjarmasin dan Amuntai, sedangkan 1929 pengaruhnya tersebar ke Aceh dan
Makassar. Mubaligh-mubaligh dikirim ke daerah-daerah tersebut dari Jawa atau
Minangkabau untuk menyebarkan cita-cita Muhammadiyah. Dengan perluasan sayap
dan kegiatan yang demikian luas, pimpinan pusat organisasi ini bertambah banyak
pula bagian-bagiannya. Pembagian kerja antar anggota–anggota dan pimpinannya
pun mulai diadakan dan tertata secara teratur.Tetapi bagian-bagian itu tidak
perlu tumbuh dari dalam organisasi Muhammadiyah yang bernama Penolong
Kesengsaraan Umum (PKU) mulanya merupakan organisasi yang berdiri sendiri
dengan nama yang sama, didirikan tahun 1918 oleh beberapa orang pimpinan
Muhammadiyah untuk meringankan korban yang jatuh disebabkan oleh meletusnya
Gunung Kelud.Organisasi wanita Muhammadiyah, bernama ‘Aisyiah, adalah juga pada
mulanya sebuah organisasi yang berdiri sendiri di Kauman 1918 dan sejak 1922
organisasi ini secara resmi menjadi bagian dari Muhammadiyah[18]
Yang menarik dari organisasi ini
adalah, kegiatan-kegiatannya tidaklah tumbuh semata-mata dari buah pikiran
pimpinanya saja. Adanya pengaruh luar Islam, seperti berdirinya PKU dan
Aisyiah. Ahmad Dahlan termasuk orang yang pertama yang menyadari potensi
wanita. Hal yang nampak biasa ini, pada waktunya dan dunia Islam, sungguh
merupakan gejala baru dan berdirnya Aisyiyah ada di garis depan.[19]
Meskipun ada pengaruh luar yang sangat signifikan dalam perjalanan
Muhammadalah, yakni kegiatan-kegiatan zending sini dan misionaris Kristen yang
memang telah memasuki jantung pulau Jawa semenjak awal abad yang lalu. Bukan
saja dianggap sebagai suatu tantangan, tetapi juga merupakan suatu contoh bagi
pemimpin-pemimpin Muhammadiyah tersebut.
Ada beberapa aktivitas dan kegiatan dari misionaris Kristen yang
dijadikan contoh oleh Muhammadiyah, yaitu; Gerakan kepanduan Muhammadiyah,
Hizbul Wathan, dibentuk pada tahun 1918 oleh KH.A.Dahlan setelah memperoleh
keterangan tentang persoalan kepanduan ini dari seorang guru Muhammadiyah yang
mengajar di Surakarta. Guru itu melihat
latihan-latihan kepanduan missi-Kristen di Alun-alun Mangkunegaran. Tentang,
Perawatan terhadap fakir miskin dan AnakYatim Piatu. Muhammadiyah kemudian
mengadakan rasionalisasi dalam berpikir dan berperilaku . Misalnya, untuk
menjadi kaya orang diharamkan memelihara pesugihan, tapi dianjurkan
kerja keras, serta melaksanakan perhitungan rasional untung rugi bisnis, shalat
dan doa.[20]
Sayang sekali, Muhammadiyah tidak pernah berinisiatif untuk mendirikan
perhimpunan-perhimpunan interest-group seperti; petani, buruh,
pengusaha, dan masih banyak asiosiasi lain yang berdasarkan profesi. Sebagai
akibatnya, Muhammadiyah seolah-olah membiarkan warganya yang menjadi buruh dan
aktif berbondong-bondong ke Serikat Pekerja Seluruh dan Indonesia (SPSI),
(Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI), atau petaninya ke Himpunan Kerukunan
Tani Indonesia (HKTI) dan para pengusahanya ke Himpunan Pengusaha Muda
Indonesia (HIPMI), [21]
Apalagi kita telah diperlihatkan semakin berkembangnya Big Business,
Big Bank dan Big Corporation yang muncul sebagai kekuatan-kekuatan
oligopoli, perusahaan–perusahaan kecil dan menengah, mulai tergeser ke
pinggiran, mulai hancur.[22]
F. Persatuan
Islam
Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung pada tahun 1920-an ketika
orang-orang Islam di daerah–daerah lain telah lebih dahulu maju dalam berusaha
untuk mengadakan pembaharuan dalam agama.Bandung kelihatnnya agak lambat
memulai pembaharuan ini dibandingkan dengan daerah-daerah lain, meskipun
Serikat Islam telah beroperasi di kota itu sejak tahun 1913. Kesadaran tentang
keterlambatan itu merupakan salah satu cambuk untuk mendirikan organisasi Islam
pembaharu.
Ide pendirian organisasi ini berasal dari pertemuan yang bersifat kenduri
yang diadakan secara berkala di rumah salah seorang anggota kelompok yang
berasal dari Sumatera, tetapi mereka telah lama tinggal di Bandung. Mereka
adalah keturunan dari tiga keluarga yang pindah dari Palembang pada abad
ke-XVIII.
Topik pembicaraan dalam kenduri
itu bermacam-macam; masalah-masalah agama yang dibicarakan oleh majalah
al-Munir di Padang oleh majalah al-Manar di Mesir, pertikaian antara Jamia’at
Khair dan al-Irsyad, masalah komunisme yang berhasil memecah Sarikat Islam yang
kuat.Topik–topik tersebut, bukan saja merupakan hal yang menarik dibicarakan,
tetapi juga merupakan hal yang menyebabkan kalangan agama di Bandung resah.
Persis, saying sekali, mulai saat
berdiri dan sampai kini kurang memberikan tekanan pada kegiatan organisasi itu
sendiri.Ia tidak terlalu berminat untuk membuat cabang-cabang atau menambah
sebanyak mungkin anggota. Pembentukan sebuah cabang bergantung semata-mata pada
inisiatif peminat dan tidak didasarkan kepada sesuatu rencana yang dilakukan
oleh pimpinan pusat. Namun, pengaruh Persis ini jauh lebih besar daripada
jumlah cabang maupun anggotanya.
Perhatian Persis terutama tertuju pada bagaimana menyebarkan cita-cita
dan pemikirannya. Ini dilakukan dengan mengadakan pertemuan umum, tabligh,
khotbah, kelompok studi, mendirikan sekolah dan menyebarkan atau menerbitkan
pamlet-pamflet, majalah[23]
dan kitab-kitab.Dalam kegiatan ini Persis beruntung mendapatkan dua orang tokoh
penting, yaitu Ahmad Hasan [24],
yang dianggap sebagai guru Persis yang utama dan Mohammad Natsir[25]
yang pada waktu itu merupakan seorang anak muda yang sedang berkembang dan
tampaknya bertindak sebagai juru bicara
dari organisasi tersebut di kalangan kaum terpelajar.
Berlainan dengan Muhammadiyah yang mengutamakan penyebaran
pemikiran–pemikiran baru secara sosial, tenang dan damai. Persis seakan gembira
dengan perdebatan-perdebatan dan polemik. Dengan berbagai tema dan masalah-masalah
politik, ekonomi, sosial-relegiusitas. Misalnya; masalah Ahmadiyah Qadian, Nabi
Isa meninggal di Kasmir, Nasionalisme, dsb.yang dimuat di majalah Pembela
Islam.Bahkan majalah Soal–Jawab diterbitkan pada tahun 1930-an yang
mengemukan artikel-artikel dalam bentuk jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan
yang dimajukan oleh para pembaca yang pada umumnya berkenaan dan berkaiatan
antara kehidupan kontemporer dengan agama,[26]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari deskripsi di atas penulis menyimpulkan bahwa pandangan H.J. Benda di
awal tulisan ini ada benarnya. Meskipun demikian, sebagai bahan diskusursus dan
kajian awal, maka tulisan tentang respon umat Islam Indonesia terhadap
penetrasi Barat di Indonesia dengan memaparkan latar belakang berdirinya
beberapa organiasi modern seperti; Jami’at Khair, al-Irsyad, Muhammadiyah, dan
Persis masih sangat sederhana, penuh
dengan kekurangan dan perlu sekali
masukan, tanggapan, syukur kritikan.
Dengan memahami latar belakang, konteks waktu dan efek sosial dan
intelektual Islam, kajian terhadap aktivitas dan kontribusi beberapa organisasi
Islam Indonesia terhadap bangsa, Negara dan Agama secara kontemplatif dan komparatif menjadi
keniscayaan. Semoga
Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin. Falsafah Kalam di Era Posmodenis,
Yogyakarta ; Pustaka Pelajar, 1995
Benda, Harry J. Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam di
Indonesia Pada masa Pendudukan Jepang,
terj. Jakarta: Pustaka Jaya, 1980,Cet. I
Husni as-Siba’i, Musthafa. Khazanah Perdaban Islam,
terj. Min Rawaa’i Hadaaratina,
(Bandung Pustaka Setia, 2002
Kuntowijoyo, Paradigma Islam
Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1996, Cet. VII
__________, Muslim Tanpa Masjid, Bandung;
Mizan, 2001
__________, Identitas Politik Umat Islam,
Bandung : Mizan, 1997
__________, Dinamika sejarah Umat Islam Indonesia,
Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1994
__________,Selamat Tinggal Mitos Selamat datang
Realitas, Bandung :Mizan, 2002
Nasr, terj. Anas Mahyudin, Islam dan Nestapa Manusia
Modern, Bandung; Pustaka, 1983
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam
di Indonesia 1900-1942, Jakarta; LP3ES,
1998, Cet.
VIII.
Peacock, Jame L. terj. Pembaharu dan pembaharuan agama,
Yogyakarta; Hanindita,1983
Shihab, Alwi. Membendung Arus
Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap
Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Bandung: Mizan, 1998
Steenbrink, Karel. Aqib Sumnito, dan Azyumardi Azra, Kawan
Dalam Pertikaian kaum Kolonial
Belanda dan Islam di Indonesia 1596-1942, Bandung :
Mizan, 1955
Stoddard, terj. Panitia Penerbit, Dunia Baru Islam,
Jakarta, 1966
[1]Musthafa
Husni as-Siba’i, Khazanah Perdaban Islam, terj. Min Rawaa’i Hadaaratina, (Bandung Pustaka
Setia, 2002), h. 24
[2]Nasr,
terj.Anas Mahyudin, Islam dan Nestapa Manusia Modern (Bandung; Pustaka,
1983, h. 135.
[3]
Lihat. Karel Steenbrink, 1972, Departemen agama Republik Indonesia, sebenarnya
bukan satu-satunya institusi kegamaan yang berasal dari keterlibatan colonial dalam masalah
agama.
[4]
Setelah meninggal 1939, situasinya telah
berubah cepat dan S.H. tidak pernah menduga bahwasanya Mahasiswa Doktoral
Indonesia pertama di Leiden, Dr. Husain Dajaningrat akn menjadi tokoh agama
tertinggi di kalangan birokrasi selama preode 1942-1945 dan berkembanganya Jong
Islamieten Bon (JIB) dan berbagai organisasi pelajar/mahasiswa Islam
pasca-kemerdekaan (pen.)
[5]
Snouck Hurgronje 1911, h. 79, dalam Karel Steenbrink, H. Aqib Sumnito, dan
Azyumardi Azra, Kawan Dalam Pertikaian
kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia 1596-1942 (Bandung :
Mizan, 11955) h.122
[6]Bab
terakhir dalam L.Stoddard, terj.Panitia Penerbit, Dunia Baru Islam,
(Jakarta, 1966), h. 296
[7]
Ibid, L. Stoddard, h.305
[8]
Alwi Nasrihab, Membendung Arus Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap
Penetraso Misi Krosten di Indonesia,
( Bandung: Mizan, 1998), h.141
[9] L.
Stoddard, Op. Cit. 306
[10]
Selain tokoh KH.A. dahlan, R. Hasan Jayodingrat, adalah termasuk anggota JK.
[11]
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 ( Jakarta; LP3ES,
1998), Cet. VIII., h. 68
[12] Di Pasar Kliwon Solo bias kita simak bahwasanya Arab - Sayid dalam
mengelola lembaga pendidikan menggunakan nama Yayasan Diponegoro (pen.)
[13]PPS
UIN Jkt.
[14]
Gerakan yang terutama sangat dipenagruhi oleh gagasan modern dan reformis
pembaharu Mesir, Muhammad Abduh ( 1849-1905)
[15]Jame
L.Peacock, terj. Pembaharu Dan Pembaharuan Agama, (Yogyakarta;
Hanindita,1983), h. 8
[16]
Lih. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di
Era Posmodern (Yogayakarta ; Pustaka Pelajar, 1995)
[17]
Majalah Suara Muhammadiyah masih terbit dan berkantor di Yogyakarta (pen.)
[18]
Aisyiah merintis berdirinya ribuan Taman Kanank-Kanak, ratusan BKIA, puluhan
Sekolah Perawat, dan Sekolah Pendidikan putrid Muhammadiyah. (pen)
[19]
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung: Mizan 2001), h. 167.
[20]Kuntowijoyo,
Selamat Tinggal Mitos Selamat datang Realitas, Bandung :Mizan, 2002
[21]
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, (Bandung : Mizan,
1996), Cet. VII, h. 265-266.
[22]
Kuntowijoyo, Dinamika sejarah Umat Islam Indonesia, (Yogyakarta:
Shalahuddin Press, 1994), h. 122
[23]Majalah
al-Muslimun di Bangil, Jawa Timur ( pen.)
[24]
A. Hasan jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia sudah membahas tentang
bunga Bank (pen.).
[25]
M. Natsir dan Ir. Soekarno sudah berpolemik terbuka tentang dasar-dasar Negara
Republik Indonesia, sebelum kemerdekaaan 17-08-1945 (pen.)
[26]
Deliar Noer, Op. Cit. h. 104