SEJARAH PEMIKIRAN ISMAIL RAJI AL-FARUQI



SEJARAH PEMIKIRAN
ISMAIL RAJI AL-FARUQI

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Sejarah Pemikiran Islam




 




KELOMPOK 7:
ARIF HUSNI MUBAROK
CHOIRUL ANWAR
RIO ARDI
ANNE NURDIANA


PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM
PASCASARJANA UNISMA “45” BEKASI
2015
 
SEJARAH PEMIKIRAN ISMAIL RAJI AL-FARUQI
A.    Pendahuluan
Dunia modern saat ini mengukir kisah kejayaan manusia secara materi dan kaya akan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun modernitas ini agaknya tidak didukung dengan keteguhan hati nurani sehingga banyak manusia modern tersesat dalam kemajuan dan kemodernannya. Manusia modern memang mampu membangun impian kehidupan menjadi kenyataan, namun kemudian mereka menghancurkannya dengan tangannya sendiri. Sebagaimana al-Qur’an mengibaratkan seorang perempuan yang menenun kain dengan tangannya, lalu kemudian mencabik-cabiknya kembali dengan tangannya.[1]
Krisis kemanusiaan modern ini dikritik oleh banyak pemikir yang kemudian memunculkan aliran Postmodernisme. Posmodernisme menawarkan pikiran baru yang toleran terhadap pluralitas, pembongkaran dan lokalitas. Hanya saja, aliran ini ternyata walaupun mengusung pluralitas namun toleransi terhadap pendukung posmodernisme yang berbasic agama dirasakan kurang memberi tempat. Sehingga posmodernisme juga dipandang sebagai aliran yang tidak memiliki persingungan dengan spiritualitas dan moralitas.[2] Krisis kemanusiaan yang oleh banyak pihak diyakini sebagai anak kandung dari Modernisme tidak juga mendapatkan jalan keluarnya dengan munculnya postmodernisme. Akhirnya, banyak pihak mencoba menoleh kembali kepada agama.
Salah satu cendekiawan muslim yang konsen pada usaha mencari solusi dari lingkaran krisis kemanusiaan tersebut adalah Ismail Raji Al Faruqi. Al Faruqi berpendapat bahwa pengetahuan modern memunculkan adanya pertentangan wahyu dan akal di kalangan umat muslim. Memisahkan pemikiran dari aksi, serta adanya dualisme kultural dan religius. Oleh karena itu, Al Faruqi berpendapat diperlukan Islamisasi Ilmu dan upaya tersebut beranjak dari tauhid. Artinya pengetahuan Islami selalu menekankan kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran dan pengetahuan serta kesatuan hidup.[3]
Dalam konteks pendidikan, al Faruqi melontarkan kritik tajam berkaitan dengan paradigma pendidikan Islam selama ini yang mengadopsi sistem filsafat Barat, terutama tentang konsep dikotomi pendidikan. Menurutnya, dikotomi pendidikan mutlak harus dihilangkan diganti dengan paradigma pendidikan yang utuh. Konsep pendidikan Islam yang selama ini ada tidak megacu pada konsep awal tauhid. Jika Islam memandang tujuan pengembangan obyek didik untuk mencapai penyadaran atas eksistensi tuhan (tauhid), maka segala proses yang dilakukan untuk itu idealnya berakar pada konsep tauhid.
Kecermatan dan daya analisis al-Faruqi dalam usaha keluar dari lingkaran krisis kemanusiaan akan dibahas dalam makalah ini. Seberapa efektif konsep-konsep dan metodologi Islamisasi pengetahuan al-Faruqi ini mampu menyumbangkan usaha keluar dari krisis kemanusiaan, terutama dalam bidang pendidikan.

B.  BIOGRAFI
1. Latar Belakang Pendidikan dan karier ISMAIL RAJI AL-FARUQI
Al Faruqi dilahirkan di Jaffa, Palestina pada tahun 1921 tanggal 1 Januari 1921. Ayahnya seorang qadi di terpandang di Palestina, bernama Abdul Huda Al Faruqi. Setelah menamatkan pendidikan madrasah di tempat kelahirannya, Al Faruqi menempuh pendidikan di College Des Freres (St. Joseph) Lebanon, mulai tahun 1926 sampai dengan tahun 1936. Pada tahun 1941, Al Faruqi melanjutkan pendidikannya di Amirecan University of Beirut, di Beirut dengan mengambil kajian Filsafat sampai meraih gelar sarjana muda (Bachelor of Art). Al Faruqi sempat menjadi pegawai pemerintah Palestina di bawah mandat Inggris. Jabatan sebagai pegawai negeri diembannya selama empat tahun, kemudian ia diangkat menjadi Gubernur Galilea. Jabatan Gubernur ini ternyata Gubernur terakhir dalam sejarah pemerintahan Palestina, karena sejak tahun 1947 propinsi yang dipimpin oleh Al Faruqi tersebut jatuh ke tangan kekuasaan Israel. Keadaan ini membuat al Faruqi harus hijrah ke Amerika Serikat pada tahun 1948.[4]
Di Amerika, Al Faruqi mengeluti bidang akademis dan konsen pada persoalan-persoalan keilmuan. Hal ini juga mendorong al Faruqi untuk melanjutkan pendidikannya. Selain itu, kultur masyarakat Barat yang cenderung tidak rasialis dan deskriminatif juga memberi peluang baginya untuk mengembangkan potensi akademiknya, sehingga pada tahun 1949 al Faruqi berhasil meraih gelar master (master of Art) dengan judul tesis On Justifying the Good: Metaphysic and Epitemology of Value (tentang pembenaran kebaikan: Metafisik dan epistimologi nilai). Gelar doctor diperolehnya di Indiana University.[5]
Titel doktor tidak membuatnya lepas dahaga keilmuan, oleh karenanya kemudian ia melanjutkan kajian keIslamannya di jenjang pascasarjana di Universitas Al Azhar, Kairo Mesir. Program ini dilalui selama tiga tahun. Kemudian pada tahun 1964, dia kembali ke Amerika dan memulai kariernya sebagai guru besar tamu (visiting professor) di University Chicago di School of Devinity. Al Faruqi juga pernah tercatat sebagai staf pengajar di Mc Gill University, Montreal Kanada pada tahun 1959. Pada tahun 1961, ia pindah ke Karachi, Pakistan selama dua tahun.
Karir akademik al Faruqi juga pernah dilalui di Universitas Syracuse, New York, sebagai pengajar pada program pengkajian Islam. Tahun 1968, al Faruqi pindah ke Temple University, Philadelpia. Di lembaga ini, ia bertindak sebagai profesor agama dan di sinilah ia mendirikan Pusat Pengkajian Islam. Selain menjadi guru besar di University Temle ini, ia juga dipercaya sebagai guru besar studi keIslaman di Central Institute of Islamic Research, Karchi.
Tujuh Belas Ramadhan 1406/1986, Subuh dini hari menjelang sahur, tiga orang tidak dikenal menyelinap ke dalam rumah suami istri Ismail Raji Al Faruqi dan Lois Lamya di wilayah Cheletenham, Philadelpia. Dua guru besar di Universitas Temple AS beserta dua anak mereka dibunuh dengan oleh tiga orang tersebut, dan wafat seketika.[6]

2.  Karya-Karya Intelektual
Sebagai seorang intelektual Muslim kenamaan, al-Faruqi sangat produktif dalam mendistribusikan ide-idenya. Ia sangat eksploratif dalam lapangan keilmuan, sehingga wajar kalau ia mampu menguasai berbagai macam disiplin keilmuan, antara lain: seni, kebudayaan, filsafat, metafisika, epistemologi, keagamaan, pendidikan, sejarah, dan politik. Menurut Nasution, al-Faruqi setidaknya telah menghasilkan lebih dari 20 buku dan kurang lebih 100 artikel.[7]
Karya-karya al-Faruqi berupa buku antara lain: Christian Ethics; An Historical Atlas of the Religions of the World; Trialogue of Abrahamic Faiths; The Cultural Atlas of Islam yang dikarang bersama istrinya, Lamya’ Al-Faruqi, dan terbit beberapa saat setelah mereka wafat; dan lain-lain.
Karya-karya al-Faruqi dalam bentuk artikel antara lain: Islamization of Knowledge: Problem, Principles, Prospective Islamization of Knowledge, General Principles and Work Plan; The Essence of Islamic Civilization; Toward Islamic English; Islamization Sosial Science; Science and Traditional Values in Islamic Society; Social and Natural Science: The Islamic Perspective; Devine Transendence and Its Expression, on the Nature of Work of Art in Islam; Urufah and Religion; Misconceptions of the Nature of the Work of Art in Islam; Islam and Art; Jauhar Al-Hadharah Al-Islamiyah.[8]
Dalam menyalurkan ide-ide, al-Faruqi tidak hanya berkarya berupa buku atau artikel, tetapi juga mendirikan organisasi sosial-keagamaan yang bergerak di bidang intelektual. Ia sangat berhasrat (obsessed) untuk mengIslamkan ilmu pengetahuan dan berbagai aspek kehidupan umat Islam. Ia mendirikan The Association of Muslim Social Scientists (Himpunan Ilmuwan Sosial Muslim –AMSS) tahun 1972 dan menjadi presidennya yang pertama selama dua periode (periode kedua; 1978-1982).[9]

C.  POKOK-POKOK PEMIKIRAN ISMAIL RAJI AL-FARUQI
Al-Faruqi banyak mengemukakan gagasan serta pemikiran yang berhubungan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh Umat Islam. Namun kami disini akan membatasi dalam dunia pendidikan saja. Diantaranya pemikiran Al-Faruqi adalah:
1.  Tauhid
Masalah yang terpenting dan menjadi tema sentral pemikiran Islam adalah pemurnian tauhid, karena nilai dari keIslaman seseorang itu adalah pengesahan terhadap Allah SWT yang terangkum dalam syahadat. Upaya pemumian tauhid inipun telah banyak dilakukan oleh para ulama terdahulu, diantaranya kita mengenal adanya gerakan wahabiyah yang dipimpin oleh Muhammad bin abdul Wahab.
Tauhid bukan sekedar diakui dengan lidah dan ikrar akan keesaan Allah serta kenabian Muhammad SAW. Walaupun ikrar dan syahadat oleh seorang muslim  mengkonsekuensikan sejumlah aturan hukum di dunia ini, namun tauhid yang merupakan sumber kebahagiaan abadi manusia dan kesempurnaanya, tidak berhenti pada kata-kata dan lisan. Lebih dari itu tauhid juga harus merupakan suatu realitas batin dan keimanan yang berkembang di dalam hati.
Tauhid juga merupakan prinsip mendasar dari seluruh aspek hidup manusia sebagaimana yang dikemukakan bahwa pernyataan tentang kebenaran universal tentang pencipta dan pelindung alam semesta. Tauhid sebagai pelengkap bagi manusia dengan pandangan baru tentang kosmos, kemanusiaan, pengetahuan dan moral serta askatologi memberikan  dimensi dan arti baru dalam kehidupan manusia tujuannya obyektif dan mengatur manusia sampai kepada hak spesifik untuk mencapai perdamaian global, keadilan, persamaan dan kebebasan.
Bagi AI-Faruqi sendiri esensi peradaban Islam adalah Islam itu sendiri dan esensi Islam adalah Tauhid atau pengesaan terhadap Tuhan, tindakan yang menegaskan Allah sebagai yang Esa, pencipta mutlak dan transenden, penguasa segala yang ada. Tauhid adalah memberikan identitas peradaban Islam yang mengikat semua unsur-unsurnya bersama-bersama dan menjadikan unsur-unsur tesebut suatu kesatuan yang integral dan organis yang disebut peradaban.
Prinsip pertama tauhid adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, itu berarti bahwa realitas bersifat handa yaitu terdiri dari tingkatan alamiah atau ciptaan dan tingkat trasenden atau pencipta.
Prinsip kedua, adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, itu berarti bahwa Allah adalah Tuhan dari segala sesuatu yang bukan Tuhan. Ia adalah pencipta atau sebab sesuatu yang bukan Tuhan. Ia pencipta atau sebab terawal dan tujuan terakhir dari segala sesuatu yang bukan Tuhan.
Prinsip ketiga tauhid adalah, bahwa Allah adalah tujuan terakhir alam semeta, berrti bahwa manusia mempunyai kesanggupan untuk berbuat, bahwa alam semesta dapat ditundukkan atau dapat menerima manusia dan bahwa perbuatan manusia terhadap alam yang dapat ditundukkan perbuatan yang membungkam alam, yang berbeda adalah tujuan susila dari agama.
Prinsip keempat tauhid adalah, bahwa manusia mempunyai kesanggupan untuk berbuat dan mempunyai kemerdekaan untuk tidak berbuat. Kemerdekaan ini memberi manusia sebuah tanggungjawab terhadap segala tindakannya.
Implikasi Tauhid bagi teori sosial, dalam efeknya, melahirkan ummah, suatu kumpulan warga yang organis dan padu yang tidak dibatasi oleh tanah kelahiran, kebangsaan, ras, kebudayaan yang bersifat universal, totalitas dan bertanggung jawab dalam kehidupan bersama-sama dan juga dalam kehidupan pribadi masing-masing anggotanya yang mutlak perlu bagi setiap orang untuk mengaktualisasikan setiap kehendak Ilahi dalam ruang dan waktu.
Oleh sebab itu pentingnya Tauhid bagi Islam, maka ajaran Tauhid harus dimanifestasikan dalam seluruh aspek kehidupan dan dijadikan dasar kebenaran Islam.[10]

2. Islamisasi Ilmu
a.  Ide Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Gagasan / Ide Islamisasi Ilmu Pengetahuan dikembangkan oleh Syed M. Naquib al-Attas sebagai proyek “Islamisasi” yang mulai diperkenalkannya pada Konferensi dunia mengenai Pendidikan Islam yang Pertama di Makkah pada tahun 1977. Al-Attas dianggap sebagai orang yang pertama kali mengupas dan menegaskan tentang perlunya Islamisasi pendidikan, Islamisasi sains, dan Islamisasi ilmu. Dalam pertemuan itu beliau menyampaikan makalah yang berjudul “Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education”. Ide ini kemudian disempurnakan dalam bukunya, Islam and Secularism (1978) dan The concepts of Education in Islam A Framework for an Islamic Philosophy of Education (1980). Persidangan inilah yang kemudian dianggap sebagai pembangkit proses Islamisasi selanjutnya.
Gagasan awal dan saran-saran konkrit yang diajukan al-Attas ini, tak pelak lagi, mengundang berbagai reaksi dan salah satunya adalah Ismail Raji al-Faruqi dengan agenda Islamisasi Ilmu Pengetahuannya. Dan hingga saat ini gagasan Islamisasi ilmu menjadi misi dan tujuan terpenting (raison d’etre) bagi beberapa institusi Islam seperti International Institute of Islamic Thought (IIIT), Washington DC., International Islamic University Malaysia (IIUM), Kuala Lumpur, Akademi Islam di Cambridge dan International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur.[11]

b. Pengertian Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Ketika mendengar istilah Islamisasi Ilmu pengetahuan, ada sebuah kesan bahwa ada sebagian ilmu yang tidak Islam sehingga perlu untuk diIslamkan. Dan untuk mengIslamkannya maka diberikanlah kepada ilmu-ilmu tersebut dengan label “Islam” sehingga kemudian muncullah istilah-istilah ekonomi Islam, kimia Islam, fisika Islam dan sebagainya.
Ada beberapa versi pemahaman tentang Islamisasi ilmu pengetahuan. Versi pertama beranggapan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan sekedar memberikan ayat-ayat yang sesuai dengan ilmu pengetahuan umum yang ada (ayatisasi). Kedua, mengatakan bahwa Islamisasi dilakukan dengan cara mengIslamkan orangnya. Ketiga, Islamisasi yang berdasarkan filsafat Islam dengan mempelajari dasar metodologinya. Dan keempat, memahami Islamisasi sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang beretika atau beradab.[12] Dengan berbagai pandangan dan pemaknaan yang muncul secara beragam ini perlu kiranya untuk diungkap dan agar lebih dipahami apa yang dimaksud “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”.
Menurut al-Attas Islamisasi yaitu Pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belengu paham sekuler terhadap pemikiran dan bahas. Juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya, dan berbuat tidak adil terhadapnya. Islamisasi adalah suatu proses menuju bentuk asalnya yang tidak sekuat proses evolusi dan devolusi.[13]
Untuk melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut, menurut al-Attas, perlu melibatkan dua proses yang saling berhubungan. Pertama ialah melakukan proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, dan kedua, memasukan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan.[14]
Al-Attas menolak pandangan bahwa Islamisasi ilmu bisa tercapai dengan melabelisasi sains dan prinsip Islam atas ilmu sekuler. Usaha yang demikian hanya akan memperburuk keadaan dan tidak ada manfaatnya selama “virus”nya masih berada dalam tubuh ilmu itu sendiri sehingga ilmu yang dihasilkan pun jadi mengambang, Islam bukan dan sekulerpun juga bukan. Padahal tujuan dari Islamisasi itu sendiri adalah untuk melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan. Islamisasi ilmu dimaksudkan untuk mengembangkan kepribadian muslim yang sebenarnya sehingga menambah keimanannya kepada Allah, dan dengan Islamisasi tersebut akan terlahirlah keamanan, kebaikan, keadilan dan kekuatan iman.[15]
Sedangkan menurut al-Faruqi, Islamisasi adalah usaha “untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikirkan kembali argumen dan rasionalisasi yang berkaitan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cause (cita-cita).” Dan untuk menuangkan kembali keseluruhan khazanah pengetahuan umat manusia menurut wawasan Islam, bukanlah tugas yang ringan yang harus dihadapi oleh intelektual-intelektual dan pemimipin-pemimpin Islam saat ini. Karena itulah, untuk melandingkan gagasannya tentang Islamisasi ilmu, al-Faruqi meletakan “prinsip tauhid” sebagai kerangka pemikiran, metodologi dan cara hidup Islam.
Untuk menghindari kerancuan Barat, Al-Faruqi mengemukakan prinsip metodologi tauhid sebagai satu kesatuan kebenaran, maka dalam hal ini tauhid terdiri dari tiga prinsip:
1)             Penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan realitas, dengan maksud meniadakan dusta dan penipuan dalam Islam karena prinsip ini menjadikan segala sesuatu dalam agama terbuka untuk diselidiki dan dikritik. Penyimpangan dari realitas atau kegagalan untuk mengkaitkan diri dengannya, sudah cukup untuk membatalkan sesuatu item dalam Islam, apakah itu hukum, prinsip etika pribadi atau sosial, atau pernyataan tentang dunia. Prinsip ini melindungi kaum muslimin dari opini yaitu tindakan membuat pernyataan yang tak teruji dan tidak dikonfirmasikan mengenai pengetahuan.
2)             Tidak ada kontraksi yang hakiki melindunginya dari kontadiksi di satu pihak, dan paradoks di lain pihak. Prinsip ini merupakan esensi dari rasionalisme. Tanpa ini ia tidak ada jalan untuk lepas dari skepetisme; sebab suatu kontradiksi yang hakiki menandung arti bahwa kebenaran dari masing-masing unsur kontradiksi tidak akan pemah dapat diketahui.
3)             Tauhid dalam metodologi adalah tauhid sebagai kesatuan kebenaran yaitu keterbukaan terhadap bukti baru dan/atau yang bertentangan, melindungi kaum muslimim dari literalisme, fanatisme, dan konservatisme yang mengakibatkan kemandegan. Prinsip ini mendorong kaum muslimin kepada sikap rendah hari intelektual. Ia memaksa untuk mencantumkan dalam penegasan atau penyangkalannya ungkapan wallahu’ alam karena ilia yakin bahwa kebenaran lebih besar dari yang dapat dikuasainya sepenuhnya di saat manapun.
Sebagai penegasan dari kesatupaduan sumber-sumber kebenaran. Tuhan pencipta alam dari mana manusia memperoleh pengetahuannya. Objek pengetahuan adalah pola-pola alam yang merupakan hasil karya Tuhan. Hal inilah yang banyak dilupakan Barat sehingga timbul ide untuk mengIslamisasikan ilmu pengetahuan.
Menurut Al-Faruqi pengetahuan modern menyebabkan adanya pertentangan wahyu dan akal dalam diri umat Islam, memisahkan pemikiran dari aksi serta adanya dualisme kultural dan religius. Karena diperlukan upaya Islamisasi ilmu pengetahuan dan upaya itu harus beranjak dari Tauhid.
Menurut AI-Faruqi sendiri Islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengIslamkan ilmu pengetahuan modern dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains pasti alam dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam apa yang dikatakan sebagai data-datanya, dan problem-problemnya. Seluruh disiplin harus dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam sepanjang ketiga sumbu Tauhid yaitu, kesatuan pengetahuan, hidup dan kesatuan sejarah.

c.  Sasaran dan Langkah-Langkah Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Dalam rangka membentangkan gagasannya tentang bagaimana Islamisasi itu dilakukan, Al-Furuqi menetapkan lima sasaran dari rencana kerja Islamisasi, yaitu:
1)            Menguasai disiplin-disiplin moderen
2)            Menguasai khazanah Islam
3)            Menentukan relevensi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan moderen
4)            Mencari cara-cara untuk melakukan sentesa kreatip antara khazanah Islam dengan khazanah Ilmu pengetahuan moderen.
5)            Mengarahkan pemikiran Islam kelintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Tuhan.
Untuk merealisasikan ide-idenya tersebut Al-Faruqi mengemukakan beberapa tugas dan langkah-langkah yang perlu dilakukan: Tugas petama, memadukan sistem pendidikan Islam dengan sistem sekuler. Pemaduan ini harus sedemikian rupa sehingga sistem baru yang terpadu itu dapat memperoleh kedua macam keuntungan dari sistem-sistem terdahulu. Perpaduan kedua sistem ini haruslah merupakan kesempatan yang tepat untuk menghilangkan keburukan masing-masing sistem, seperti tidak memadainya buku-buku dan guru-guru yang berpengalaman dalam sistem tradisional dan peniruan metode-metode dari ideal-ideal barat sekuler dalam sistem yang dekuler.
Dengan perpaduan kedua sistem pendidikan diatas, diharapkan akan lebih banyak yang bisa dilakukan dari pada sekuler memakai cara-cara sistem Islam menjadi pengetahuan yang sesuatu yang langsung berhubungan dengan kehidupan kita sehari-hari, sementara pengetahuan moderen akan bisa dibawa dan dimasukkan ke dalam kerangkan sistem Islam. Al-Faruqi dalam mengemukakan ide Islamisasi ilmu pengetahuan menganjurkan untuk mengadakan pelajaran-pelajaran wajib mengenai kebudayaan Islam sebagai bagian dari program studi siswa. Hal ini akan membuat para siswa merasa yakin kepada agama dan warisan mereka, dan membuat mereka menaruh kepercayaan kepada diri sendiri sehingga dapat menghadapi dan mengatasi kesulitan-kesulitan mereka di masa kini atau melaju ke tujuan yang telah ditetapkan Allah.
Bagi AI-Faruqi Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh para ilmuan muslim. Karena menurutnya apa yang telah berkembang di dunia Barat dan merasuki dunia Islam saat ini sangatlah tidak cocok untuk umat Islam. Ia melihat bahwa ilmu sosial Barat tidak sempurna dan jelas bercorak Barat dan karena itu tidak berguna sebagai model untuk pengkaji dari kalangan muslim, yang ketiga menunjukan ilmu sosial Barat melanggar salah satu syarat krusial dari metodologi Islam yaitu kesatuan kebenaran. Prinsip metodologi Islam itu tidak identik dengan prinsip relevansi dengan spritual. Ia menambahkan adanya sesuatu yang khas Islam yaitu prinsip umatiyah. Untuk mempermudah proses Islamisasi Al-Faruqi mengemukakan langkah-langkah yang harus dilakukan diantaranya adalah:
1)              Penguasaan disiplin ilmu moderen: penguraian kategoris. Disiplin ilmu dalam tingkat kemajuannya sekarang di Barat harus dipecah-pecah menjadi kategori-kategori, prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, problema-problema dan tematema. Penguraian tersebut harus mencerminkan daftas isi sebuah pelajaran. Hasil uraian harus berbentuk kalimat-kalimat yang memperjelas istilah-istilah knis, menerangkan kategori-kategori, prinsip, problema dan tema pokok disiplin ilmuilmu Barat dalam puncaknya.
2)              Survei disiplin ilmu. Semua disiplin ilmu harus disurvei dan di esei-esei harus ditulis dalam bentuk bagan mengenai asal-usul dan perkembangannya beserta pertumbuhan metodologisnya, perluasan cakrawala wawasannya dan tak lupa membangun pemikiran yang diberikan oleh para tokoh utamanya. Langkah ini bertujuan menetapkan pemahaman muslim akan disiplin ilmu yang dikembangkan di dunia Barat.
3)              Penguasaan terhdap khazanah Islam. Khazanah Islam harns dikuasai dengan cara yang sama. Tetapi disini, apa yang diperlukan adalah antologi-antologi mengenai warisan pemikir muslim yang berkaitan dengan disiplin ilmu.
4)              Penguasaan terhadap khazanah Islam untuk tahap analisa. Jika antologi-antologi telah disiapkan, khazanah pemikir Islam harus dianalisa dari perspektif masalahmasalah masa kini.
5)              Penentuan relevensi spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Relevensi dapat ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan. Pertarna, apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari Al-Qur’an hingga pemikir-pemikir kaum modernis, dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup dalam disiplin-disiplin moderen. Kedua, seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasilhasil yang telah diperoleh oleh disiplin moderen tersebut. Ketiga, apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau sama sekali tidak diperhatikan oleh khazanah Islam, kearah mana kaum muslim harus mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasikan masalahmasalah, dan memperluas visi disiplin tersebut.
6)              Penilaian kritis terhadap disiplin moderen. Jika relevensi Islam telah disusun, maka ia harus dinilai dan dianalisa dari titik pijak Islam. (makalah)
7)              Penilaian krisis terhadap khazanah Islam. Sumbangan khazanah Islam untuk setiap bidang kegiatan manusia harus dianalisa dan relevansi kontemporernya harus dirumuskan.
8)              Survei mengenai problem-problem terbesar umat Islam. Suatu studi sistematis harus dibuat tentang masalah-masalah politik, sosial ekonomi, inteltektual, kultural, moral dan spritual dari kaum muslim.
9)              Survei mengenai problem-problem umat manusia. Suatu studi yang sama, kali ini difokuskan pada seluruh umat manusia, harus dilaksanakan.
10)          Analisa kreatif dan sintesa. Pada tahap ini sarjana muslim harus sudah siap melakukan sintesa antara khazanah-khazanah Islam dan disiplin moderen, serta untuk menjembatani jurang kemandegan berabad-abad. Dari sini khazanah pemikir Islam harus disenambung dengan prestasi-prestasi moderen, dan harus menggerakkan tapal batas ilmu pengetahuan ke horison yang lebih luas dari pada yang sudah dicapai disiplin-disiplin moderen.
11)          Merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam. Sekali keseimbangan antara khazanah Islam dengan disiplin, oderen telah diacapai buku-buku teks universitas harus ditulis untuk menuangkan kembali disiplin-disiplin moderen dalam cetakan Islam.
12)          Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diIslamkan. Selain langkah tersebut diatas, alat-alat bantu lain untuk mempercepat Islamisasi pengetahuan adalah dengan mengadakan konferensi-konferensi dan seminar untuk melibat berbagai ahli di bidang-bidang illmu yang sesuai dalam merancang pemecahan masalah-masalah yang menguasai pengkotakan antar disiplin. Para ahli yang membuat harus diberi kesempatan bertemu dengan para staf pengajar. Selanjutnya pertemuan-pertemuan tersebut harus menjajaki persoalan metoda yang diperlukan .
Bertolak daripikiran diatas, sardar mengemukakan pada awal saekali yang harus dibangun adalah pandanagan Islam (Islamic wold view) atau agenda pertama kali yang harus dikedepankan adalah bagaimana membagun epistemology Islam yang berdasarkan pada al-Quran dan hadis ditambah dengan memahami perkembangan dunia kontemnporer. Menurut  dia pembanguna epistemology Islam tidak mnungkin menyandarkan disiplin-disiplin ilmu yang sudah ada, namun perrlu mengembangkan paradigma-paradigma baru dimana ekspresi-ekspresi ekternal peradaban muslim yang meliputi sains dan teknologi, politik, hubungan antar bangsa, struktur ssosial, ekonomi, pembangunan masyarsakat desa dan kota dan sebagainya dapat dipelajari dan dikembangkan dalam kaitannya  dengan kebutuhan-kebutuhan  dan realitas kontemporer.
Selanjutnya menurut sardar (ancok 1994,116) bahwa langkah-langkah Islamisasi ilmu, al-Faruqi mengandung cacat fundamental karena mementingkan adanya relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplion ilmu pengetahuna ilmu modern sehimgga membuat kita terjebak dalam westernasisasi Islam. Upaya ini menjustifikasi kepada pembenaran ilmu barat sebagai standart dan mendominasi perkenmbangan ilmu pengetahuan secara makro bukankah kenyataan seperti ini, kita sia-sia saja melakukan upaya Islamisasi ilmu apabila semua tetap menggunakan ilmu pengetahuan barat. Karena itu, ia mengajak bahwa Islamisasi ilmu itu bagaimanapun kepada harus titik tolak dari membangun epistemology Islam sehingga benar-benar akan menghasilkan sistem ilmu pengetahuan yang dibangun diatas pilar-pilar ajaran Islam.
Perbedaan antara kedua kubu diatas bahwa sardarian lebih bersifat idealis dengan obsesi ingin membangun ilmu pengetahuan dari epistemology Islam sehinngga akan terbagun sosok peradaban yang lebih mampu memandang, memperlakukan dan mengembangkan masa depan manusia dan alam semesta ini dibawah bimbingan konsep al-Qur’an dan Hadist. Namun demikian kelemahan pola pikir ini seakan-akan terjadi stagnasi dan harus membangun peradaban manusia dari titik nol kareana menafikan hasil pemikiran para ahli selama ini.
Sedangkan pemikiran faruqian nampaknya lebih praktis dalam situasi mendesak bias diaplikasikan untuk menjawab kekalahan dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan di kalangan dunia Islam. Di sini dimaksudkan agar umat Islam tidak terlalu ketinggalan dari barat, maka dari itu ilmu pengetahuan modern harus dikaji untuk kemudian disentesakan dengan ajaran Islam. Dengan mensinerjikan kedua kekuatan inilah masih bias diharapkan menghasilkan sebuah ilmu pengetahuan dalam bingkai ajaran Islam guna memenuhi kebutuhan mnedesak umat Islam dalam menghadapi tantangan kedepan.[16]
AI-Faruqi tampaknya melihat bahwa untuk membangun umat tidak dapat dimulai dari titik nol dengan menolak segala bentuk hasil peradaban yang sudah ada. Pembentukan umat malahan harus dilakukan sebagai langkah lanjutan dari hasil peradaban yang sudah ada dan sedang berjalan. Namun, segala bentuk nilai yang mendasari peradaban itu harus ditambah dengan tata nilai baru yang serasi dengan hidup ummat Islam sendiri yaitu pandangan hidup yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah.
AI-Faruqi melihat hanya dengan cara seperti ini visi tauhid yang telah hilang akan dapat kembali ke dalam misi pembentukan ummat. lnilah barangkali yang merupakan pokok pemikiran Al-Faruqi dalam bidang pendidikan sebagaimana yang di kemukakannya alam konsep Islamisasi ilmu pengetahuan.
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan ini lahir karena AI-Faruqi sendiri konsisten dengan konsep tauhidnya dan karena ingin memumikan ajaran tauhid Al-Faruqi menginginkan apa yang dibawa barat tidak harus diterima secara mentah oleh umat Islam. Di samping itu konsep ini muncul karena melihat kondisi obyektif umat Islam yang mengalami kemandegan dalam pemikiran yang disebabkan oleh kolonialisme Barat.

d. Analisis terhadap konsepsi Islamisasi Ilmu al-Attas dan ISMAIL RAJI AL-FARUQI
Berawal dari sebuah pandangan bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat ini telah terkontaminasi pemikiran barat sekuler dan cenderung ateistik yang berakibat hilangnya nilai-nilai religiusitas dan aspek kesakralannya. Di sisi lain, keilmuan Islam yang dipandang bersentuhan dengan nilai-nilai teologis, terlalu berorientasi pada religiusitas dan spiritualitas tanpa memperdulikan betapa pentingnya ilmu-ilmu umum yang dianggap sekuler. Menyebabkan munculnya sebuah gagasan untuk mempertemukan kelebihan-kelebihan diantara keduanya sehingga ilmu yang dihasilkan bersifat religius dan bernafaskan tauhid, gagasan ini kemudian dikenal dengan istilah “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”.
Analisis atas kerangka falsafah al-Faruqi menunjukkan bahwa ia memiliki asumsi bahwa ilmu tidak bebas dari nilai. Tujuan ilmu adalah satu dan sama dan konsepsi ilmu mereka bersan­dar kepada prinsip metafisik, ontologi, epistemologi dan aksiologi, dengan kon­sep tauhid sebagai kuncinya.
Al-Faruqi juga yakin bahwa Tuhan ad­alah sumber asal segala ilmu; bahwa ilmu adalah asas bagi kepercayaan dan amal saleh. Juga ia bersepakat bah­wa akar masalah umat Islam terle­tak pada sistem pendidikan mereka, khususnya masalah dengan ilmu kontemporer, dimana penyelesaiannya terletak dalam Islamisasi ilmu pengetahuan kini. Ia sepakat dengan konsep Islamisasi ilmu kontemporer, yaitu satu pembedahan atas ilmu modern perlu di­lakukan supaya unsur-unsur buruk dan ter­cemar dihapuskan, dianalisa, ditafsir ul­ang atau disesuaikan dengan pandangan dan nilai Islam.
Pada dasarnya semua pelopor ide Islamisasi ilmu, khususnya al-Attas, al-Faruqi dan Nasr, menyakini bahwa ilmu itu bu­kanlah netral atau bebas nilai. Tujuan usaha mereka adalah sama dan konsep Islam­isasi ilmu yang mereka bawa adalah ber­tunjangkan kepada prinsip metafisik, on­tologi, epistemologi dan aksiologi Islam yang berpaksikan konsep tauhid.
Al-Faruqi berpandangan bah­wa ilmu Barat khususnya ilmu sains kemanu­siaan, sains kemasyarakatan, dan sains alam modern bersandar pada falsafah dan pan­dangan alam sekuler di mana Allah yang Maha Esa telah dipinggirkan. Dalam kerangka ilmu ini, Allah tidak berperan, dimana alam ini laksana sebuab jam dan Tuhan umpama pencipta jam tersebut. Set­elah jam itu dicipta, penciptanya tidak mempunyai peranan lagi.
Begitu juga, golongan ini mengang­gap bahwa Tuhan tidak lagi mempunyai peran setelah Ia mencipta alam yang kini bergerak dengan sendiri mela­lui mekanisma cause dan effect. Pemikir ini juga sependapat bahwa metodologi ilmu modern ini banyak dipengaruhi oleh metodologi sains alami­ah yang menekankan objektivitas tetapi te­lah melampaui batasan dengan wujudnya golongan berpaham positivistik yang me­nolak segala kenyataan atau hakikat yang tidak dapat dibuktikan secara empirikal.
Dan sudut epistemologi, falsafah yang didukung ini menentang ilmu yang ber­sumberkan wahyu maupun ilham dan cuma menerima akal dan pancaindera. Dengan penerimaan teori evolusi Darwin, sains telah mengenepikan al-Khaliq dan meya­kini bahwa proses alam ini terjadi secara evolusi tanpa Pencipta. Justru itu ilmu modern ini bukannya mengokohkan iman kepada Allah sebagaimana peranan ilmu yang hakiki dalam pandangan Islam, teta­pi sebaliknya merusakkan dan menyesat­kan aqidah umat Islam.
Islamisasi akan sulit dilaksanakan tanpa pengua­saan kedua ilmu disiplin modern ataupun warisan Islam seperti yang disarankan oleh al-Faruqi. Pendekatan ini mem­bimbing manusia yang ingin melaksanakan proses pengIslaman ilmu, dengan sendi­rinya telah mengalami transformasi priba­di serta memiliki akal dan rohani yang te­lah menjadi Islami sepenuhnya.
Begitu juga, langkah yang dianjurkan oleh al-Faruqi mungkin menghadapi sedi­kit masalah khususnya ketika beliau mer­encanakan agar relevansi Islam terhadap sesuatu disiplin ilmu dikenal pasti dan di­lakukan sintesis. Apabila ini dilakukan mungkin akan terjadi penempelan atau pemindahan saja, yaitu sesuatu yang dikha­watirkan oleh al-Attas.
Melihat kepada gagasan tokoh pemikir besar ini, mungkin kita boleh mensintesiskan idenya supaya Islam­isasi ilmu pengetahuan berlanjutan. Kalau model al-Attas menekankan individu dan model al-Faruqi menekankan masyarakat dan ummah, maka kita boleh menggarap­kan keduanya dalam satu model yang ber­mula dengan individu dan berakhir den­gan ummah. Memanglah tidak wajar pe­rubahan individu menyudutkan ummah dan sebaliknya. Mungkin kerangka kerja al-Faruqi harus diperbaiki supaya tahap pertama memberi perhatian kepada indi­vidu seperti yang dititikberatkan oleh al-Attas, dan tahap kedua kepada ummah.
Oleh karena titik permulaan al-Faru­qi kerap dikritik, maka kita mungkin dapat mengubahnya bermula dengan ilmu warisan Islam. Lagipula mahasiswa dan negara Islam yang mendalami ilmu di Barat yang menjadi tumpuan al-Faruqi pasti sudah diperkenalkan kepada ilmu fardhu ‘ain dasar melalui sistem pendidikan nega­ra asal mereka. Mungkin kita boleh jadi­kan pemahaman tentang falsafah Islamisa­si ilmu sebagai langkah pertama dalam kerangka kerja al-Faruqi.


DAFTAR PUSTAKA

1)              Nashir, Haedar, 1997, Agama dan krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2)              Ahmed, Akbar S.,1996. Postmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Isalm, Bandung: Mizan.
3)              Ancok, Djamaluddin, 2001. Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
4)              Lamya, Lois Al Faruqi, 1997. Alih Masa Depan Kaum Wanita, Terj. Masyhur Abadi, Surabaya: Al Fikri.
5)              Ridwan, Kafrawi dkk., 1994. Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ictiar Baru Van Hoeve.
6)              Nasution, Harun (Ed.). 1992, Ensiklopedi Islam Indonesia. Vol. I, Jakarta: Djambatan.
7)              Tafsir dkk. 2002, Moralitas Al-Quran dan Tantangan Modernitas: Telaah atas Pemikiran Fazlur Rahman, Al-Ghazali, dan Isma’il Raji Al-Faruqi. Yogyakarta-Semarang: Gama Media-PPs IAIN Wali Songo.
8)              Azra, Azyumardi. “Dari Arabisme ke Khilafatisme: Kasus Isma’il al-Faruqi”, dalam Azyumardi Azra. Pergolakan Politik Islam. Jakarta: Paramadina
9)              Wan Mohd Nor Wan Daud, 1998. The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmy dkk, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, Bandung: Mizan.
10)          Hashim, Rosnani, 2005, Gagasan Islamisasi Kontemporer: Sejarah, Perkembangan dan Arah Tujuan, dalam Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam. INSIST: Jakarta, Thn II No.6/ Juli-September.
11)          Nizar, Samsul, 2009, Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejaak Sejarah Pendidikan Era Rosulullah Sampai Indonesia, Jakarta: Kencana.
12)          Muhammad Djakfar, 2006, Islamisasi Pengetahuan: Dari Tataran Ide Ke Praksis, Dalam Mudjia Rahardjo (Editor),  Quo Vadis Pendidikan Islam; Pembacaan Relitas Pendidiakn Islam, Social Dan Keagamaan, Malang: Cendekia Paramulya.
13)          www.ismailfaruqi.com
14)          Rosnani Hashim Sekilas Islamisasi Ilmu: Antara Al-Attas dan Al-Faruqi http://iptekita.com/content/view/14/26/
15)          Lukman A. Irfan    Kajian terhadap Islamizing Curricula Al-Faruqi


[1] QS. An-Nahl (16) : 92
[2] Akbar S. Ahmed, Postmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Isalm, (Bandung: Mizan, 1996), 43.
[3] Djamaluddin Ancok & Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 113-114
[4] Lihat Lois Lamya Al Faruqi, Alih Masa Depan Kaum Wanita, Terj. Masyhur Abadi, (Surabaya: Al Fikri, 1997), xii
[5] Kafrawi Ridwan dkk., Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ictiar Baru Van Hoeve, 1994), 334.
[6] Lukman A. Irfan    Kajian terhadap Islamizing Curricula Al-Faruqi http://iptekita.com/content/view/24/26/
[7] Harun Nasution (Ed.). Ensiklopedi Islam Indonesia. Vol. I (Jakarta: Djambatan. 1992), 58.6
[8] Tafsir dkk. Moralitas Al-Quran dan Tantangan Modernitas: Telaah atas Pemikiran Fazlur Rahman, Al-Ghazali, dan Isma’il Raji Al-Faruqi. (Yogyakarta-Semarang: Gama Media-PPs IAIN Wali Songo, 2002), 180-181.
[9] Azyumardi Azra,. “Dari Arabisme ke Khilafatisme: Kasus Isma’il al-Faruqi”, dalam Azyumardi Azra. Pergolakan Politik Islam. (Jakarta: Paramadina), 50-51
[10] www.ismailfaruqi.com
[11] Ibid., 392-401.
[12] Ummi, Islamisasi Sains Perspektif UIN Malang, dalam Inovasi: Majalah Mahasiswa UIN Malang, Edisi 22. Th. 2005, 25.
[13] Syed M. Naquib al-Attas dalam Wan Mohd Nor Wan Daud, 336.
[14] Rosnani Hashim, 35
[15] Lihat Rosnani Hashim, Ibid
[16] Muhammad Djakfar, Islamisasi Pengetahuan: Dari Tataran Ide Ke Praksis, Dalam Mudjia Rahardjo (Editor),  Quo Vadis Pendidikan Islam; Pembacaan Relitas Pendidiakn Islam, Social Dan Keagamaan (Malang: Cendekia Paramulya, 2006), 264-265

Popular posts from this blog

JENIS-JENIS PENILAIAN DALAM EVALUASI PENDIDIKAN

ULUMUL QUR’AN DAN FAEDAHNYA DALAM MENAFSIRKAN AL-QUR’AN