ULUMUL QUR’AN DAN FAEDAHNYA DALAM MENAFSIRKAN AL-QUR’AN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam
pembahasan makalah ini, marilah kita mengenal lebih jauh mengenai Ulumul Qur’an
dan faedah-faedahnya.
Al-Qur’an adalah kalamullah yang
diwahyukan kepada nabi Muhammad saw. Sebagai risalah yang universal. Dan
merupakan sebuah petunjuk bagi semua manusia yang lengkap dan komprehensif.
Al-Qur’an memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah satu di
antaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh
Allah swt., dan ia adalah kitab yang senantiasa dipelihara oleh Allah sampai
hari akhir nanti.[1]
Al-Qur’an adalah sumber ilmu bagi kaum
muslimin yang merupakan dasar-dasar hukum yang mencakup segala hal.
tPöqtur ß]yèö7tR Îû Èe@ä. 7p¨Bé& #´Îgx© OÎgøn=tæ ô`ÏiB öNÍkŦàÿRr& ( $uZø¤Å_ur Î/ #´Íky 4n?tã ÏäIwàs¯»yd 4 $uZø9¨tRur øn=tã |=»tGÅ3ø9$# $YZ»uö;Ï? Èe@ä3Ïj9 &äóÓx« Yèdur ZpyJômuur 3uô³ç0ur tûüÏJÎ=ó¡ßJù=Ï9
Artinya: (dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami
bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri
dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan
Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
(Q.S. An-Nahl : 89).
Mempelajari
isi Al-Qur’an akan menambah perbendaharaan baru, memperluas pandangan dan
pengetahuan, meningkatkan perspektif baru dan selalu menemui hal-hal yang
selalu baru. Lebih
jauh lagi, kita akan lebih yakin akan keunikan isinya yang menunjukkan Maha
Besarnya Allah sebagai penciptanya.
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab.
Oleh karena itu, ada anggapan bahwa setiap orang yang mengerti bahasa Arab
dapat mengerti isi Al-Qur’an. Lebih dari itu, ada orang yang merasa telah dapat
memahami dan menafsirkan Al-Qur’an dengan bantuan terjemahnya, sekalipun tidak
mengerti bahasa Arab. Padahal orang Arab sendiri banyak yang tidak mengerti
kandungan Al-Qur’an. Maka dari itu, untuk dapat mengetahui isi kandungan
Al-Qur’an diperlukanlah ilmu yang mempelajari bagaimana tata cara menafsiri
Al-Qur’an yaitu Ulumul Qur’an dan juga terdapat faedah-faedahnya. Dengan adanya
pembahasan ini, kita sebagai generasi islam supaya lebih mengenal Al-Qur’an,
karena tak kenal maka tak sayang.
1.2. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Ulum, Al-Qur’an dan
Ulumul Qur’an ?
2.
Bagaimana pendapat para ulama’ ?
3.
Apa saja pembagian dan
perinciannya ?
4.
Bagaimana sejarah perkembangannya
?
5.
Apa saja faedah-faedahnya ?
6.
Siapa saja tokoh-tokoh ahli tafsir
?
1.3. Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui pengertian Ulum,
Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an
2.
Untuk mengetahui pendapat para
ulama’
3.
Untuk mengetahui sejarah
perkembangannya
4.
Untuk mengetahui faedah-faedahnya.
5.
Untuk mengetahui tokoh-tokoh ahli
tafsir
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
1. Arti Kata ‘Ulum
Kata ulum (علوم) merupakan bentuk plural dari dari kata
tunggal ilm (علم). Kata ilm adalah bentuk masdar (kata kerja yang dibendakan). Secara etimologis berarti al-fahmu (paham), al-ma’rifah
(tahu) dan al-yaqin (yakin).[2]
Ketiga istilah tersebut mengandung pengertian yang berbeda dan bisa dikaji
lebih mendalam buku-buku perbedaan kosakata bahasa Arab, seperti kitab al furuq
al-lugawiyyah karya Abu Hilal al-Askari.
Secara
terminologis, ilmu mempunyai definisi-definisi yang berbeda sesuai dengan latar
belakang pendefinisi tersebut. Para filosof mengartikan bahwasanya ilmu adalah
konsep yang muncul dalam akal maupun keterkaitan jiwa dengan sesuatu menurut
cara pengungkapannya. Para Teologis berpendapat bahwa ilmu adalah sifat yang
bisa membedakan sesuatu tanpa kontradiksi. Sedangkan orang-orang bijak
mengartikan ilmu sebagai gambaran sesuatu yang dihasilkan dari akal.[3]
Adapun
menurut syara’, ilmu adalah mengetahui dan memahami Ayat-ayat Allah dan
lafalnya berkenaan dengan hamba dan mahluk-makhluknnya. Dari situlah Imam
Ghazali berpendapat bahwasanya ilmu sebagai objek yang wajib dipelajari oleh
orang Islam adalah konsep tentang ibadah, akidah, tradisi dan etika Islam
secara lahir dan batin.
Al-Qur’an
menggunakan kata ‘ilm dalam berbagai bentuk dan artinya sebanyak 854 kali.
Antara lain firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah: 31-32 “proses pencapaian
pengetahuan dan objek pengetahuan”. Pembicaraan tentang ilmu mengantarkan kita
kepada pembicaraan tentang sumber-sumber ilmu disamping klasifikasi dan ragam
disiplinnya.[4]
Untuk lebih memahami pengertian ilmu
secara jelas, mari kita simak pendapat-pendapat di bawah ini :
·
Menurut para ahli filsafat, kata
ilmu sebagai gambaran sesuatu yang terdapat dalam akal.
·
Menurut Abu Musa Al-Asy’ari, ilmu
ialah sifat yang mewajibkan pemiliknya mampu membedakan dengan panca indranya.
·
Menurut Imam Ghazali, secara umum
arti ilmu dalam istilah syara’ adalah ma’rifat Allah terhadap tanda-tanda
kekuasaan, perbuatan, hamba-hamba dan makhluk-Nya.
·
Menurut Muhammad Abdul ‘Adzhim, ilmu menurut istilah adalah
ma’lumat-ma’lumat yang dirumuskan dalam satu kesatuan judul atau tujuan.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kata “ulum / ilmu” adalah masalah-masalah yang telah dirumuskan dalam satu disiplin pengetahuan yang terdapat dalam akal pikiran.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kata “ulum / ilmu” adalah masalah-masalah yang telah dirumuskan dalam satu disiplin pengetahuan yang terdapat dalam akal pikiran.
2. Arti Kata Al-Qur’an
Menurut
bahasa, Kata al-Qur'an
merupakan bentuk Mashdar (kata kerja yang dibendakan), dengan mengikuti standar
Fu'lan, sebagaimana lafadz Gufran, Rujhan dan Syukran. Lafadz Qur'an adalah
lafadz Mahmuz, yang salah satu bagiannya berupa huruf hamzah, yaitu pada bagian
akhir, karenanya disebut Mahmuz Lam, dari lafadz:
Qara'a-Yaqra'[u]-Qirâ'at[an]-Qur'ân[an], dengan konotasi
Tala-Yatlu-Tilawat[an]: membaca-bacaan. Kemudian lafadz tersebut mengalami
konversi dalam peristilahan syariat, dari konotasi harfiah ini, sehingga
dijadikan sebagai nama untuk bacaan tertentu, yang dalam istilah orang Arab
disebut: Tasmiyyah al-maf'ul bi al-masdar, menyebut obyek dengan Masdarnya.
Konotasi
harfiah seperti ini dinyatakan dalam firman Allah swt. dalam Q.S.
Al-Qiyamah:16-17.
w õ8ÌhptéB ¾ÏmÎ/ y7tR$|¡Ï9 @yf÷ètGÏ9 ÿ¾ÏmÎ/ , ¨bÎ) $uZøn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur
Artinya: Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca)
al-Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan
kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila
Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. (Q.S. Al-Qiyamah:16-17)[5]
Imam
Syafi’i (150-204 H), salah seorang imam mazhab yang terkenal, mengatakan bahwa
kata al-Qur’an ditulis dan dibaca tanpa hamzah, serta tidak diambil dari
pecahan kata manapun (ghayr musytaqq). Ia adalah nama khusus yang dipakai untuk
kitab suci yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw., seperti halnya dengan
nama Injil dan Taurat, yang masing-masing diberikan kepada nabi Isa dan nabi
Musa.[6]
Para
ahli bahasa, ulama ushul dan kalam telah mendefinisikan al-Qur'an dengan
definisi yang beragam. Dalam pandangan ahli bahasa, al-Qur’an adalah nama
perkataan Allah yang memiliki mu’jizat, yang diturunkan kepada nabi Muhammad
saw. Ulama fikih dan usul memberikan definisi al-Qur’an yaitu kalam Allah yang
diturunkan kepada Muhammad saw., membacanya dinilai sebagai ibadah, dinukilkan
secara mutawatir mulai dari surah al-Fatihah sampai ke akhir surah al-Nas.
Sedangkan ulama kalam memberikan pengertian al-Qur’an sebagai kalam Allah yang
berdiri sendiri, bukan berupa huruf, bukan makhluk dan tidak dengan suara.[7]
Menurut
istilah, “Al-Qur’an” adalah firman Allah yang bersifat mu’jizat yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad, yang tertulis dalam mushaf-mushaf, yang dinukil dengan
jalan mutawatir dan yang membacanya merupakan ibadah.
Dari
beberapa definisi di atas bisa disimpulkan bahwa al-Qur'an adalah kalam Allah
yang berupa mukjizat, diturunkan kepada Muhammad saw. dan dinukil kepada kita
secara mutawatir, serta dinilai beribadah ketika membacanya.
Untuk lebih memahami pengertian
Al-Qur’an secara jelas, mari kita simak pendapat-pendapat di bawah ini :
·
Menurut Manna’ Al-Qathkan,
Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan orang yang
membaca akan memperoleh pahala.
·
Menurut Al-Jurjani, Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada
Rasulullah yang ditulis dalam mushaf dan diriwayatkan secara mutawatir
(berangsur-angsur).
·
Menurut kalangan pakar ushul fiqih, fiqih, dan bahasa Arab, Al-Qur’an
adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, lafadz-lafadznya mengandung
mu’jizat, membacanya bernilai ibadah, diturunkan secara mutawatir dan ditulis
dari surat Al-Fatihah sampai akhir surat yaitu An-Nas.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kata “Al-Qur’an” adalah firman Allah yang bersifat mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara malaikat Jibril yang tertulis dalam mushaf-mushaf yang dinukil kepada kita secara mutawatir, membacanya bernilai ibadah, yang diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kata “Al-Qur’an” adalah firman Allah yang bersifat mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara malaikat Jibril yang tertulis dalam mushaf-mushaf yang dinukil kepada kita secara mutawatir, membacanya bernilai ibadah, yang diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.
3. Arti Kata Ulumul Qur’an
Setelah membahas kata “ulum” dan “Al-Qur’an” yang
terdapat dalam kalimat “Ulumul Qur’an”, perlu kita ketahui bahwa tersusunnya
kalimat tersebut mengisyaratkan bahwa adanya bermacam-macam ilmu pengetahuan
yang berkaitan dengan Al-Qur’an atau pembahasan-pembahasan yang berhubungan
dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaannya sebagai Al-Qur’an maupun aspek
pemahaman kandungannya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia.
Definisi
Ulumul Qur’an secara
terminologi terdapat berbagai pendapat para ulama’ terhadap definisi Ulumul
Qur’an, antara lain :
·
Menurut As-Suyuthi dalam kitab Itmamu Al-Dirayah mengatakan bahwa Ulumul
Qur’an adalah ilmu yang membahas tentang keadaan Al-Qur’an dari segi turunnya,
sanadnya, adab makna-maknanya, baik yang berhubungan dengan lafadz-lafadznya
maupun hukum-hukumnya.
·
Al-Zarqany dalam kitab Manahilul Itfan Fi Ulumil Qur’an mengatakan bahwa
Ulumul Qur’an adalah beberapa pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an dari
turunnya, urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, penafsirannya,
kemu’jizatannya, nasikh mansukhnya, penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan
keraguan terhadapnya.
2.2. Ruang Lingkup
Pembahasan Al-Qur’an
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai
ruang lingkup pembahasan Ulumul Qur’an, diantaranya adalah :
a.
As-Suyuthi dalam kitab Al-Itqan
menguraikan sebanyak 80 cabang ilmu. Dari tiap-tiap cabang terdapat beberapa
macam cabang ilmu.
b.
Abu Bakar Ibnu Al-Araby mengatakan
bahwa Ulumul Qur’an terdiri dari 77.450 ilmu. Hal ini didasarkan pada jumlah
kata yang terdapat dalam Al-Qur’an dengan dikalikan empat. Sebab setiap kata
dalam Al-Qur’an mengandung makna dzhohir, bathin, terbatas dan tidak terbatas,
serta dilihat dari sudut mufrodnya.
c.
Sebagian jumhur ulama’ berpendapat, objek pembahasan Ulumul Qur’an yang
mencakup berbagai segi kitab Al-Qur’an berkisar antara ilmu-ilmu bahasa Arab
dan pengetahuan agama islam.
d.
M. Hasbi Ash-Shiddiqy berpendapat,
ruang lingkup pembahasan Ulumul Qur’an terdiri atas 6 hal pokok :
1.
Persoalan turunnya Al-Qur’an
2.
Persoalan sanadnya
3.
Persoalan qira’atnya
4.
Persoalan kata-kata Al-Qur’an
5.
Persoalan makna-makna Al-Qur’an
yang berkaitan dengan hokum
6.
Persoalan makan Al-Qur’an yang
berpautan dengan kata-kata Al-Qur’an
Pembagian dan Perincian Ulumul Qur’an Secara
garis besar, Ulumul Qur’an terbagi menjadi 2 pokok bahasan, yaitu :
1.
Ilmu yang berhubungan dengan
riwayat semata-mata, seperti ilmu yang membahas tentang macam-macam bacaan,
tempat turun ayat-ayat Al-Qur’an, waktu-waktu turunnya dan sebab-sebabnya.
2.
Ilmu yang berhubungan dengan
dirayah, yaitu ilmu yang diperoleh dengan jalan penelaahan secara mendalam,
seperti memahami lafadz yang ghorib (asing) serta mengetahui makna ayat-ayat
yang berhubungan dengan hukum.
2.3. Sejarah
Perkembangan Ulumul Qur’an
Sebagai ilmu
yang terdiri dari berbagai cabang dan macamnya, Ulumul Qur’an tidak lahir sekaligus.
Ulumul Qur’an menjelma menjadi suatu disiplin ilmu melaui proses pertumbuhan
dan perkembangan sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan untuk membenahi
Al-Qur’an dari segi keberadaanya dan segi pemahamannya.
Di masa Rasul SAW dan para shahabat,
Ulumul Qur’an belum dikenal sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri dan
tertulis. Para shahabat adalah orang-orang Arab asli yang dapat merasakan
struktur bahasa Arab yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan kepada Rasul
dan bila menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat
menanyakan langsung kepada Rasul SAW.
Di zaman
Khulafaur Rasyidin sampai Dinasti Umayyah, wilayah islam bertambah luas
sehingga terjadi pembaruan antara orang Arab dan bangsa-bangsa yang tidak
mengetahui bahasa Arab. Keadaan demikian menimbulkan kekhawatiran shahabat akan
tercemarnya keistimewaan bahasa Arab, bahkan dikhawatirkan tentang bacaan
Al-Qur’an yang menjadi sebuah standar bacaan mereka. Untuk mencegah
kekhawatiran itu, disalinlah dari tulisan-tulisan asli Al-Qur’an yang disebut
dengan Mushaf Imam. Dan dari salinan inilah suatu dasar Ulumul Qur’an disebut
Al-Rasm Al-Utsmani.
Kemudian
Ulumul Qur’an memasuki masa pembukuannya pada abad ke-2 H. Para ulama’
memberikan prioritas perhatian mereka terhadap ilmu tafsir karena fungsinya
sebagai umm al-ulum al-qur’aniyyah. Sampai saat ini bersamaan dengan masa
kebangkitan modern dalam perkembangan ilmu-ilmu agama, para ulama’ masih
memperhatikan akan ilmu Qur’an ini. Sehingga tokoh-tokoh ahli tafsir (Qur’an)
masih banyak hingga saat ini di seluruh dunia.
1. Masa Pra Kodifikasi (Qabl
al-Tadwin)
Pada
masa ini sebenarnya sudah timbul benih kemunculan Ulumul Qur'an yang dirasakan
semenjak Nabi masih ada. Hal ini ditandai dengan gairah semangat yang terpancar
dari sahabat dalam mempelajari sekaligus mengamalkan al-Qur'an dengan memahami
ayat-ayat yang terkandung di dalamnya.
Jika
mereka menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat
menanyakannya langsung kepada nabi. Misalnya ketika mereka menanyakan firman
Allah dalam Q.S. al-An’am/6: 82 tentang pengertian zulm. Nabi menjawabnya
dengan berdasarkan Q.S. Luqman/31: 13 bahwa zulm itu adalah syirk. Dengan
demikian, sangat wajar jika ilmu-ilmu al-Qur’an pada masa nabi Muhammad belum
dibukukan mengingat kondisinya belum membutuhkan disebabkan kemampuan para
sahabat yang cukup mapan dalam menghapal memahami al-Qur’an.
Perkembangan
al-Qur'an pada massa ini hanya sebatas dari mulut ke mulut, belum ada pembukuan
teks al-Qur'an karena ditakutkan tercampurnya al-Qur'an dengan sesuatu selain
al-Qur'an. Di samping itu Rasulullah saw. juga merekomendasikan untuk
tidak menulis al-Qur'an .
2. Masa Persiapan Kodifikasi
Pada
masa pemerintahan Usman bin Affan, Islam telah tersebar luas. Orang-orang Arab
yang turut serta dalam ekspansi wilayah berasimilasi dengan bangsa-bangsa yang
tidak mengenal bahasa Arab. Sehingga dikhawatirkan Arabisitas bangsa itu akan
lebur dan al-Qur'an itu akan menjadi kabur bagi kaum muslimin bila ia tidak
dihimpun dalam sebuah mushaf sehingga mengakibatkan kerusakan yang besar di
dunia ini akibat salah dari penginterpretasian dalam pemaknaan Al-Qur'an.
Maka
Usman berinisiatif untuk melakukan penyeragaman tulisan al-Qur’an dengan
menyalin sebuah Mushaf al-Imam (induk) yang disalin dari naskah-naskah aslinya.
Keberhasilan Utsman dalam menyalin Mushaf al-Imam ini berarti ia telah menjadi
peletak pertama bagi tumbuh dan berkembangnya Ulum al-Qur’an yang kemudian
popular pada hari ini dengan istilah Ilmu Rasm al-Qur’an atau Ilmu Rasm
Ustmani.
Pada
masa pemerintahan Ali terjadi banyak penyimpangan dalam membaca bahasa Arab
sehingga beliau khawatir akan kekeliruan dalam membaca terlebih memahami
Al-Qur'an. Oleh karena itu, Ali memerintahkan Abu al-Aswad al-Dualy (w.691.H.)
untuk menyusun kaidah-kaidah bahasa Arab dalam upaya memelihara bahasa
al-Qur’an. Tindakan Ali ini kemudian dianggap sebagai perintis lahirnya Ilm
al-Nahw dan Ilm I’rab al-Qur’an.
Setelah
berakhirnya masa pemerintahan Khulafa Rasyidin, pemerintahan Islam dilanjutkan
oleh penguasa Bani Umayyah. Upaya pengembangan dan pemeliharaan Ulumul Qur’an
dikalangan sahabat dan tabi’in semakin marak, khususnya melalui periwayatan
sebagai awal dari usaha pengkodifikasian.
3. Masa Kodifikasi Ulumul
Qur'an
Pada Abad III H, para ulama mulai
menyusun beberapa Ilmu al-Qur’an, ialah :
a)
Ali
bin Al-Madini (w. 243 H ) menyusun Ilmu Asbabun al-Nuzul.
b)
Abu
Ubaid Al-Qasim bin Salman (w. 224 H) menyusun Ilmu Nasikh wa al- Mansukh dan
Ilmu Qira’at.
c)
Muhammad
bin Ayyub al-Dhirris (w. 294 H) menyusun Ilmu al-Makki wa al-Madani.
d)
Muhammad
bin Khalaf Al-Marzubzn (wafat tahun 309 H ) menyusun kitab al-Hawi fi Ulum
al-Qur’an ( 27 juz ).
Pada
abad IV H, mulai disusun Ilmu Garib al-Qur’an dan beberapa kitab Ulumul Qur’an
dengan memakai istilah. Di antara Ulama yang menyusun Ilmu Garib al-Qur’an dan
kitab-kitab Ulumul Qur’an pada abad IV ini ialah :
a.
Abu
Bakar Al-Sijistani (w. 330 H ) menyusun Ilmu Garib al-Qur’an.
b.
Abu
Bakar Muhammad bin Al-Qasim al-Anbari (w. 328 H) menyusun kitab Ajaib Ulum
al-Qur’an. Di dalam kitab ini, ia menjelaskan atas tujuh huruf, tentang
penulisan Mushaf, jumlah bilangan surat-surat, ayat-ayat dan kata-kata dalam
al-Qur’an.
c.
Abul
Hasan al-Asy’ari (w. 324 H) menyusun kitab Al-Mukhtazan fi Ulum al-Qur’an.
d.
Abu
Muhammad Al-Qassab Muhammad bin Ali Al-Karakhi (w. 360 H) menyusun kitab :
e.
Muhammad
bin Ali al-Adwafi (w. 338 H ) menyusun kitab al-Istigna’ fi Ulum al-Qur’an ( 20
jilid ).
Pada
abad V H, mulai disusun Ilmu I’rabil Qur’an dalam satu kitab. Di samping itu,
penulisan kitab-kitab dalam Ulumul Qur’an masih terus dilakukan oleh ulama pada
masa ini. Adapun ulama yang berjasa dalam pengembangan Ulumul Qur’an pada abad
V ini, antara lain ialah:
a.
Ali
bin Ibrahim bin Sa’id al-Khufi (w. 430 H). Selain mempelopori penyusunan Ilmu
I’rab al-Qur’an, ia juga menyusun kitab al-Burhan Fi Ulum al-Qur’an. Kitab ini
selain menafsirkan Al-Qur’an seluruhnya, juga menerangkan Ilmu-ilmu al-Qur’an
yang ada hubungannya dengan ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan. Karena itu,
Ilmu-ilmu al-Qur’an tidak tersusun secara sistematis dalam kitab ini. Sebab
Ilmu-ilmu al-Qur’an diuraikan secara terpencar-pencar, tidak terkumpul dalam
bab-bab menurut judulnya. Namun demikian, kitab ini merupakan karya ilmiah yang
besar dari seorang ulama yang telah merintis penulisan kitab tentang Ulumul
Qur’an yang agak lengkap.
b.
Abu
'Amr Al-Dani (w. 444 H ) menyusun kitab al-Tafsir Fi al-Qira‘a al-Sab’a dan
kitab al-Muhkam Fi al-Nuqati.
Pada
abad VI H, di samping terdapat ulama yang menerusakan pengembangan Ulumul
Qur'an, juga terdapat ulama yang mulai menyusun Ilmu Mubhamat al-Qur'an. Mereka
itu antara lain, ialah :
a.
Abul
Qasim bin Abdurrahman Al-Suhaili (w. 581 H) menyusun kitab tentang Mubhamat
al-Qur'an, menjelaskan maksud kata-kata dalam al-Qur'an yang tidak jelas apa
atau siapa yang dimaksudkan. Misalnya kata rajulun (seorang lelaki) atau
malikun (seorang raja).
b.
Ibnul
Jauzi (w. 597 H ) Kitab Funun al-afnan Fi Ajaib al-Qur'an dan kitab al-Mujtaba
Fi Ulum Tata'allaqu bi al-Qur'an.
Pada
abad VII H, Ilmu-ilmu al-Qur'an terus berkembang dengan mulai tersusunnya Ilmu
Majaz al-Qur'an dan tersusun pula Ilmu Qira’at. Di antara ulama Abad VII yang
besar perhatiannya terdapat Ilmu al-Qur'an, ialah :
a.
Ibnu
Abd al-Salam yang terkenal dengan nama al-Izz (w. 660 H) adalah pelopor
penulisan Ilmu Majaz al-Qur'an dalam satu kitab.
b.
Alamudin
Al-Sakhawi (w. 643 H ) menyusun Ilmu Qira’at dalam kitabnya Jamal al-Qurra' Wa
Kamal al-Iqra'.
c.
Abu
Syamah (w. 655 H ) menyusun kitab al-Mursyid al-Wajiz Fi Ma Yata' allaqu bi
al-Qur'an.
Pada
Abad VII H, muncullah beberapa ulama yang menyusun ilmu-ilmu baru tentang
Al-Qur'an masih tetap berjalan terus. Di antara mereka ialah :
a.
Ibnu
Abil Isba' menyusun Ilmu Bada’i al-Qur'an, suatu ilmu yang membahas macam-macam
badi' (keindahan bahasa dan kandungan Al-Qur'an) dalam Al-Qur'an.
b.
Ibnu
Qayyim (w. 752 H ) menyusun Ilmu Aqsam al-Qur'an, suatu ilmu yang membahas
tentang sumpah-sumpah yang terdapat dalam al-Qur'an.
c.
Najmudin
Al-Thufi (w. 716 H) menyusun Ilmu Hujaj al-Qur'an atau Ilmu Jadal al-Qur'an,
suatu Ilmu yang membahas tentang bukti-bukti/dalil-dalil
(argumentasi-argumentasi) yang dipakai oleh al-Qur'an untuk menetapkan sesuatu.
d.
Abul
Hasan Al-Mawardi menyusun Ilmu Ams}al al-Qur'an, suatu ilmu yang membahas
tentang perumpamaan-perumpamaan yang terdapat di dalam al-Qur'an.
e.
Badruddin
Al-Zarkasyi (w. 794 H) menyusun kitab al-Burhani Fi Ulum al-Qur'an. Kitab ini
telah diterbitkan oleh Muhammad Abdul Fadl Ibrahim (4 juz).
Pada
abad IX dan permulaan abad X H, makin banyak karangan-karangan yang ditulis
oleh ulama tentang Ilmu-ilmu al-Qur'an dan pada masa ini perkembangan Ulumul
Qur'an mencapai kesempurnaannya. Di antara ulama yang menyusun Ulumul Qur'an
pada masa ini ialah :
a.
Jalaludin
al-Bulqini (w. 824 H ) menyusun kitab Mawaqi' al-Ulum Min Mawaqi' al-Nujum.
Al-Bulqini ini dipandang oleh al-Suyuti sebagai ulama yamg mempelopori
penyusunan kitab Ulumul Qur'an yang lengkap, sebab di dalamnya telah disusun
sejumlah 50 macam Ilmu al-Qur'an.
b.
Muhammad
bin Sulaiman Al-Kafiyaji (w. 879 H ) menyusun kitab al-Taisir Fi Qawa’id
al-Tafsir.
c.
Al-Suyuti
(w. 911 H) menyusun kitab al-Tahbir Fi Ulum al-Tafsir. Penyusunan kitab ini
selesai pada tahun 872 H dan merupakan kitab Ulum al-Qur'an yang paling lengkap
karena memuat 102 macam ilmu-ilmu al-Qur'an. Namun Imam al-Suyuti masih belum
puas atas karya ilmiahnya yang hebat itu. Kemudian ia menyusun kitab al-Itqan
Fi Ulum al-Qur'an (2 juz) yang membahas sejumlah 80 macam ilmu-ilmu al-Qur'an
secara sistematis dan padat isinya. Kitab al-Itqan ini belum ada yang
menandingi mutunya dan kitab ini diakui sebagai kitab standar dalam mata
pelajaran Ulumul Qur'an.
Setelah
Al-Suyuti wafat, perkembangan Ilmu-ilmu al-Qur'an seolah-olah telah mencapai
puncaknya dan berhenti dengan berhentinya kegiatan ulama dalam mengembangkan
Ilmu-ilmu Al-Qur'an, dan keadaan semacam itu berjalan sejak wafatnya Iman
Al-Suyuti (911 H) sampai akhir abad XIII H.
Keadaan
Ilmu-Ilmu Al-Qur'an pada abad XIV H ini, maka bangkit kembali perhatian ulama
menyusun kitab-kitab yang membahas al-Qur'an dari berbagai segi dan macam Ilmu
al-Qur'an. Di antaranya mereka adalah:
a.
Thahir
Al-Jazairi menyusun kitab al-Tibyan Fi Ulum al-Qur'an yang selesai pada tahun
1335 H.
b.
Jamaludin
al-Qaim (w. 1332 H ) mengarang kitab Mah{asin al-Takwil.
c.
Muhammad
Abduh Adzim al-Zarqani menyusun kitab Manahil al-Irfan Fi Ulum al-Qur'an ( 2
jilid ).
d.
Muhammad
Ali Salamah mengarang kitab Manhaj al-Furqan Fi Ulum al-Qur'an.
e.
Tantawi
Jauhari mengarang kitab al-Jawahir Fi Tafsir al-Qur'an dan kitab al-Qur'an wa
al-Ulum al-As{riyah.
f.
Muhammad
Shadiq al-Rafi'i menyusun kitab I'jaz al-Qur'an.
g.
Must{afa
al-Maraghi menyusun risalah tentang “Boleh menerjemahkan al-Qur'an, dan risalah
ini mendapat tanggapan dari para ulama yang pada umumnya menyetujui pendapat
Mustafa Al-Maragi, tetapi ada juga yang menolaknya, seperti Mustafa Sabri
seorang ulama besar dari Turki yang mengarang kitab dengan judul “Risalah
Tarjamah al-Qur'an”.
h.
Sayyid
Qutub mengarang kitab al-Taswir al-Fanni Fi al-Qur'an dan kitab Fi Dzilal
al-Qur'an.
i.
Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha mengarang kitab Tafsir Qur’an al-Hakim. Kitab ini selain
menafsirkan al-Qur'an secara ilmiah, juga membahas Ulumul Qur'an.
j.
Dr.
Muhammad Abdullah Darraz, seorang Guru Besar Universitas al-Azhar yang
diperbantukan di Perancis, mengarang kitab Al-Naba' Al-Adzim, Naz{rah Jadidah
Fi al-Qur'an.
k.
Malik
bin Nabi mengarang kitab Al-Z<ahirah al-Qur'aniyah. Kitab ini membicarakan
masalah wahyu dengan pembahasan yang sangat berharga.
l.
Dr.
Shubi Al-Salih, Guru Besar Islamic Studies dan Fiqh al-Lugah pada fakultas Adab
Universitas Libanon, mengarang kitab Mabah{is Fi Ulum al-Qur'an. Kitab ini selain
membahas Ulumul Qur'an, juga menanggapi/membantah secara ilmiah
pendapat-pendapat orientalis yang dipandang salah mengenai berbagai masalah
yang berhubungan dengan al-Qur'an.
m.
Muhammad
Al-Mubarak, Dekan Fakultas Syari'ah Universitas Syria, mengarang kitab
al-Manhal al-Khalid. Lahirnya istilah al-Qur'an yang Mudawwan
2.4.
Faedah-faedah Ulumul
Qur’an
Adapun faedah-faedah mempelajari Ulumul
Qur’an antara lain :
a.
Mampu menguasai berbagai ilmu
pendukung dalam rangka memahami makna yang terkandung dalam Al-Qur’an.
b.
Membekali diri dengan persenjataan
ilmu pengetahuan yang lengkap dalam rangka membela Al-Qur’an dari berbagai
tuduhan dan fitnah yang muncul dari pihak lain.
c.
Seorang penafsir (mufassir) akan
lebih mudah dalam mengartikan Al-Qur’an dan mengimplementasikan dalam kehidupan
nyata.
d.
Membentuk kepribadian muslim yang
seimbang.
e.
Menanamkan iman yang kuat
f.
Memberi arahan untuk dapat
memanfaatkan potensi yang dimiliki dan sumber-sumber kebaikan yang ada di
dunia.
g.
Menetapkan undang-undang agar
setiap muslim mampu memberikan sumbangsih dan kreatif untuk mencapai kemajuan.
h.
Membentuk masyarakat muslim yang
betul-betul Qur’ani.
i.
Membimbing umat dalam memerangi
kejahiliyahan.
Adapun tujuan dari mempelajari
‘Ulumul Qur’an adalah:
1.
Agar
dapat memahami kalam Allah ‘Aza Wajalla sejalan dengan keterangan yang dikutip
oleh para sahabat dan para tabi’in tentang interprestasi mereka terhadap
Al-Qur’an.
2.
Agar
mengetahui cara dan gaya yang digunakan oleh para mufassir (ahli tafsir) dalam
menafsirkan Al-Qur’an dengan disertai penjelasan tentang tokoh-tokoh ahli
tafsir yang ternama serta kelebihan-kelebihannya.
3.
Agar
mengetahui persyaratan-persyaratan dalam menafsirkan Al-Qur’an
4.
Mengetahui
ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Hubungan
‘Ulumul Qur’an dengan tafsir juga dapat dilihat dari beberapa hal yaitu:
Fungsi
‘Ulumul Qur’an sebagai alat untuk menafsirkan, yaitu:
1.
Ulumul
Qur’an akan menentukan bagi seseorang yang membuat syarah atau menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an secara tepat dapat dipertanggung jawabkan. Maka bagi
mafassir ‘Ulumul Qur’an secara mutlak merupakan alat yang harus lebih dahulu
dikuasai sebelum menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
2.
Dengan
menguasai ‘Ulumul Qur’an seseorang baru bisa membuka dan menyelami apa yang
terkandung dalam Al-Qur’an
3.
‘Ulumul
Qur’an sebagai kunci pembuka dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an sesuai dengan
maksud apa yang terkandung di dalamnya dan mempunyai kedudukan sebagai ilmu
pokok dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Fungsi
dan faedah Ulumul Qur’an adalah sebagai alat atau kunci untuk mengkaji dan
menafsirkan alqur’an
a.
Ibnu
Abi ad-Dunia : ulumul Qur’an bagaikan lautan dalam yang tak bertepi dia
merupakan alat bagi mufassir.
b.
Az-zarqani
: sebagai kunci untuk mengambil khazanah ilmu pengetahuan yang tak ternilai dan
budaya universal yang tinggi di dalam Al-qur’an.
Adapun faedah-faedah mempelajari
Ulumul Qur’an antara lain :
- Mampu menguasai berbagai ilmu pendukung dalam rangka memahami makna yang terkandung dalam Al-Qur’an.
- Membekali diri dengan persenjataan ilmu pengetahuan yang lengkap dalam rangka membela Al-Qur’an dari berbagai tuduhan dan fitnah yang muncul dari pihak lain.
- Seorang penafsir (mufassir) akan lebih mudah dalam mengartikan Al-Qur’an dan mengimplementasikan dalam kehidupan nyata.
- Membentuk kepribadian muslim yang seimbang.
- Menanamkan iman yang kuat
- Memberi arahan untuk dapat memanfaatkan potensi yang dimiliki dan sumber-sumber kebaikan yang ada di dunia.
- Menetapkan undang-undang agar setiap muslim mampu memberikan sumbangsih dan kreatif untuk mencapai kemajuan.
- Membentuk masyarakat muslim yang betul-betul Qur’ani.
- Membimbing umat dalam memerangi kejahiliyahan.
Keutamaan Ulumul Qur’an,
Tidak
dipungkiri lagi bahwa Al-Qur’an adalah sumber dari segala ilmu. Banyak
teori-teori yang ditemukan belakang ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an yang sudah
turun ribuan tahun sebelumnya. Teori yang diungkapakan Harun Yahya mengenai
terbentuknya Bumi yang tidak tercipta secara kebetulan, melainkan sudah diatur
sedemikian rupa secara implisit itu sudah ada dalam Al-Qur’an surat Luqman ayat
10-11. Dan untuk menggali nilai-nilai dan khazanah keilmuan yang ada dalam
Al-Qur’an, Kita membutuhkan ilmu-ilmu yang berhubunngan dengannya. Dari sinilah
tampak keutamaan Ulumul Qur’an dibanding dengan ilmu-ilmu yang lain.[8]
Fungsi
‘Ulumul Qur’an sebagai Standar atau Ukuran Tafsir
Apabila dilihat dari segi ilmu, ‘Ulumul Qur’an sebagai standar atau ukuran tafsir Al-Qur’an artinya semakin tinggi dan mendalam ‘Ulumul Qur’an dikuasai oleh seseorang mufassir maka tafsir yang diberikan akan semakin mendekati kebenaran, maka dengan ‘Ulumul Qur’an akan dapat dibedakan tafsir yang shahih dan tafsir yang tidak shahih.
Apabila dilihat dari segi ilmu, ‘Ulumul Qur’an sebagai standar atau ukuran tafsir Al-Qur’an artinya semakin tinggi dan mendalam ‘Ulumul Qur’an dikuasai oleh seseorang mufassir maka tafsir yang diberikan akan semakin mendekati kebenaran, maka dengan ‘Ulumul Qur’an akan dapat dibedakan tafsir yang shahih dan tafsir yang tidak shahih.
Ada beberapa syarat dari ahli tafsir
( mufassir) yaitu:
1.
Akidahnya
bersih
2.
Tidak
mengikuti hawa nafsu
3.
Mufassir
mengerti Ushul at-Tafsir
4.
Pandai
dalam ilmu riwayah dan dirayah hadits
5.
Mufassir
mengetahui dasar-dasar agama
6.
Mufassir
mengerti ushul fiqh
7.
Mufassir
menguasai bahasa Arab
Dari
uraian di atas dapat dipahami bahwa ‘Ulumul Qur’an sangat penting dipelajari
dalam rangka sebagai pijakan dasar dalam menafsirkan Al-Qur’an oleh para
mufassir. Dapat dikatakan semakin dikuasainya ‘Ulumul Qur’an oleh mufassir maka
semakin tinggilah kualitas tafsir yang dibuatnya.
2.5. Tokoh-tokoh Ahli Tafsir
1.
Syu’bah Ibn Al-Hajjaj
2.
Sufyan Ibn Uyaynah
3.
Wali Ibn Al-Jarrah
4.
Ibn Jarir At-Thabari
5.
Jalaluddin Al-Bulqini
6.
Jalaluddin As-Suyuthi
7.
Abdullah Ibn Abbas
8.
Mujahid Ibn Jabr
9.
At-Thobari
10.
Ibnu Katsir
11.
Fakhruddin Ar-Rozi
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah disebutkan
dapat disimpulkan bahwa secara terminologi, Ulumul Qur’an adalah kumpulan
sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an yang mempunyai ruang lingkup
pembahasan yang luas. Pertumbuhan dan perkembangan Ulumul Qur’an menjelma
menjadi suatu disiplin ilmu melalui proses secara bertahap dan sesuai dengan
kebutuhan dan kesempatan untuk membenahi Al-Qur’an dari segi keberadaan dan
pemahamannya. Jadi, Al-Qur’an adalah pedoman hidup bagi manusia yang disajikan
dengan status sastra yang tinggi. Kitab suci ini sangat berpengaruh terhadap
kehidupan manusia semenjak Al-Qur’an diturunkan, terutama terhadap ilmu
pengetahuan, peradaban serta akhlak manusia.
3.2. Saran
Demikianlah tugas penyusunan makalah ini
saya persembahkan. Harapan kami dengan adanya tulisan ini bisa menjadikan kita
untuk lebih menyadari bahwa agama islam memiliki khazanah keilmuan yang sangat
dalam untuk mengembangkan potensi yang ada di alam ini dan merupakan langkah
awal untuk membuka cakrawala keilmuan kita, agar kita menjadi seorang muslim
yang bijak sekaligus intelek. Serta dengan harapan dapat bermanfaat dan bisa
difahami oleh para pembaca. Kritik dan saran sangat kami harapkan dari para
pembaca, khususnya dari dosen mata kuliah yang telah membimbing kami dan para
maha siswa demi kesempurnaan makalah ini. Apabila ada kekurangan dalam
penyusunan makalah ini, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Wahid Ramli, Drs.2002.Ulumul Qur’an. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Abdul,
Halim M.1999. Memahami Al-Qur’an. Bandung : Marja’
Ahmad
dan Ahmad Rofi’i Syadali,. Ulumul Qur’an. Pustaka Setia. Bandung. 2000
Anwar,
Rosihan.2006.Ulumul Qur’an. Bandung : Pustaka Setia
Kementerian Agama RI, Op.cit., h.
854.
Mardan, Al-Qur’an: Sebuah
Pengantar Memahami al-Qur’an Secara Utuh, (Cet. I; Makassar: Alauddin
Press, 2009), h. 25
M. Quraish Shihab, “Membumikan”
Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Cet. XIX;
Bandung: Mizan, 1999), h. 21
Muhammad Bakri Ismail, Dirasat fi
Ulum al-Qur‘an (Cet. II; Kairo: Dar al-Manar, 1999), h. 9.
Muni‘ Abd al-Halim Mahmud, Ahmad
Syahatah Ahmad Musa, Abd al-Badi‘ Abu Hasyim Muhammad, Ulum al-Qur‘an
al-Karim (t.d.), h. 49.
Nata,
Abuddin.1992.Al-Qur’an dan Hadits. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Shaleh,
K.H.1992. Asbabun Nuzul. Bandung : C.V Diponegoro
Zuhdi,
Masfuk.1997. Pengantar Ulumul Qur’an. Surabaya : Karya Abditama
[1]
M. Quraish Shihab, “Membumikan”
Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Cet. XIX;
Bandung: Mizan, 1999), h. 21
[2] Muhammad Bakri Ismail, Dirasat fi Ulum al-Qur‘an
(Cet. II; Kairo: Dar al-Manar, 1999), h. 9.
[3] Muni‘ Abd al-Halim Mahmud, Ahmad Syahatah Ahmad Musa, Abd
al-Badi‘ Abu Hasyim Muhammad, Ulum al-Qur‘an al-Karim (t.d.), h. 49.
[4]
M. Quraish Shihab, Op.cit., h. 62
[5]
Kementerian Agama RI, Op.cit., h.
854.
[6]
Mardan, Al-Qur’an: Sebuah Pengantar
Memahami al-Qur’an Secara Utuh, (Cet. I; Makassar: Alauddin Press, 2009),
h. 25
[7]
Muni‘ Abd al-Halim Mahmud, Ahmad
Syahatah Ahmad Musa, Abd al-Badi‘ Abu Hasyim Muhammad, Op.cit., h. 50-54
[8] Ahmad dan Ahmad Rofi’i Syadali,.
Ulumul Qur’an. Pustaka Setia. Bandung. 2000